Negara Darurat Korupsi, Mengapa Diberi Grasi?
Komitmen pemerintahan Jokowi terhadap pemberantasan korupsi makin minim. Setelah menolak merevisi UU KPK yang disahkan, belum lama Presiden Jokowi memberi grasi terpidana korupsi alih fungsi lahan Provinsi Riau, Annas Maamun.
Grasi itu diberikan karena Jokowi menilai Annas sudah tua dan kondisi kesehatannya mulai menurun. Annas mengaku menderita penyakit PPOK (COPD akut), disepsia syndromesyndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak napas. Grasi terhadap Annas Maamun diberikan lewat Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 berupa pengurangan masa hukuman satu tahun penjara. Artinya, Annas hanya akan menjalani masa hukuman 6 tahun dari divonis 7 tahun. Annas diprediksi akan bebas pada Oktober 2020 mendatang dari Lapas Sukamiskin.
Kemanusiaan menjadi alasan kuat Presiden memberii grasi pada mantan Gubernur Riau tersebut. Uzur, sakit-sakitan, dan sudah renta. Kondisi ini mengingatkan penulis pada sosok yang keadaannya tidak jauh beda dengan Annas Maamun. Meski kasus yang membelitnya bukan korupsi, tapi terpidana terorisme, yaitu Ustaz Abu Bakar Ba’asyir. ABB dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena dianggap terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh. Hukuman itu dikurangi menjadi 9 tahun penjara. Kondisi yang sakit-sakitan membuatnya harus keluar masuk rumah sakit. Pada Januari 2019 lalu sempat ada pengajuan pembebasan untuk ABB. Hingga saat ini, pembebasan itu tak lagi menggaung.
Oleh banyak pihak, pemberian grasi kepada Annas dianggap sikap tebang pilih. Mengapa grasi itu tidak diterapkan pada ABB pula? Publik menilai ustaz Abu Bakar Ba’asyir dinilai lebih layak menerima grasi ketimbang terpidana korupsi. Mengapa Presiden beda sikap? Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak dapat ditoleransi dengan pemotongan masa hukuman untuk alasan apapun, termasuk alasan kemanusiaan.
Korupsi di negeri bagai sel kanker yang terus bertumbuh di tubuh pemerintah. Mati satu tumbuh seribu. Mengakar dan sulit diberantas. Sudah semestinya pemerintah mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang tidak setuju pemberian grasi pada koruptor. Bagaimana mau memberi efek jera bila terpidana korupsi diberi kemudahan untuk meringankan hukumannya? Setelah sel mewah dalam penjara hingga plesiran kemana-mana mengindikasikan bahwa hukuman yang ada tak membuat jera pelakunya. Dari balik penjara masih bisa bertindak rasuah. Hal ini tentu tak sebanding dengan kerugian negara akibat korupsi yang mereka lakukan.
Sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi. Kalau memang komitmen berantas korupsi, jangan setengah hati. Jangan sampai publik menganggap bahwa pemerintah tak serius membasmi korupsi. Dan terkesan melindungi perilaku korupsi itu sendiri. KPK diperlemah, hukuman tak berefek jera, diberi keringanan pula.
Dalam Islam, korupsi tak akan dibiarkan menganga sedemikian rupa. Ada tindakan preventif dan kuratif yang diterapkan. Secara prevenrif, Islam akan membangun ketakwaan personal hingga komunal. Pejabat ditanamkan agar berlaku jujur dan amanah. Negara juga akan melakukan pengawasan harta para pejabat. Bila terjadi penggelembungan harta kekayaan melebihi batas kewajaran, maka dilakukan penghitungan harta para pejabat negara. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pejabatnya seperti Gubernur, Wali, dan Amil.
Sistem Islam melarang pejabat menerima hadiah. Rasulullah Saw bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan. (HR. Abu Dawud). Hadiah apapun yang sifatnya di luar haknya, tak boleh diterima.
Sistem Islam juga akan melakukan tindakan kuratif manakala korupsi masih dilakukan para pejabat. Hukuman ta’zir yang sesuai kebijakan Khalifah. Yakni sanksi yang memberi efek jera dan sebagai penebus dosa. Dengan begitu, pelakunya terdorong untuk bertobat. Satu pilar yang tak kalah penting dalam mencegah korupsi adalah keteladanan pemimpin. Kesederhanaan dan ketawadhu’an Khalifah Umar bin Khattab menjadi bukti bahwa menjadi pemimpin adalah amanah besar. Berkaitan dengan dosa dan pahala. Hisabnya paling lama dan pertanggungjawabannya paling berat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Chusnatul Jannah
Member Komunitas Creator Nulis