Indonesia Perlu Dorong China Buka Dialog dengan Kelompok Islam Xinjiang
Laporan The Wall Street Journal (WSJ) yang ditulis Rabu, 11 Desember 2019 kemarin, telah menghangatkan kembali ingatan publik di tanah air mengenai nasib kaum minoritas Muslim Uighur di China.
Laporan tersebut menyebutkan China telah berusaha membujuk sejumlah organisasi massa Islam, media, hingga akademisi di Indonesia agar mereka bungkam atas dugaan persekusi yang diterima kaum Muslim Uighur di Xinjiang.
China disebut telah menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam di Indonesia setelah isu Uighur mencuat kembali pada 2018 silam, termasuk mengundang banyak orang untuk melakukan tur ke Xinjiang. Sejak rangkaian tur Xinjiang itu berlangsung, menurut WSJ, pandangan para pemuka agama Islam Indonesia dianggap berubah.
Tuduhan itu tentu saja bersifat sepihak sehingga masih perlu dibuktikan kebenarannya. Di sisi lain kita menaruh prasangka baik bahwa ormas-ormas Islam di Indonesia tak akan menggadaikan integritas dan solidaritasnya hanya demi sumbangan. Apalagi, mereka sendiri telah membantahnya.
Sebagai warga negara berkembang, saya kira kita semua paham bahwa saat ini memang sedang berlangsung perang propaganda saling menjatuhkan antara Amerika Serikat dengan China, sebagai implikasi dari perang dagang dan perebutan pengaruh antara keduanya. Juli lalu, misalnya, kita membaca surat terbuka yang ditandatangani 22 duta besar untuk PBB kepada Dewan HAM di Jenewa, Swiss, yang mengecam perlakuan China terhadap warga etnis Uighur dan kaum Muslim lainnya di wilayah Xinjiang. Surat itu ditandatangani para diplomat yang sebagian besar berasal dari Eropa, termasuk Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Jepang.
Mereka mendesak China untuk segera menghentikan penahanan warga etnis minoritas Uighur dan memberi mereka kebebasan beraktivitas. Sebagai diplomat mereka memilih untuk menyampaikan keprihatinannya dalam bentuk surat terbuka, dan bukannya resolusi resmi, karena meyakini setiap upaya melahirkan resolusi atas nasib kaum Muslim di Xinjiang akan segera dihalangi oleh China.
Di sisi lain, muncul juga surat pembelaan terhadap China yang ditandatangani oleh para diplomat dari 37 negara, seperti Rusia, Arab Saudi, Nigeria, Aljazair, Korea Utara, Filipina, Zimbabwe, dan lainnya. Alih-alih mengecam China, mereka justru memuji prestasi luar biasa China di bidang hak asasi manusia. Perang propaganda semacam ini belakangan kembali lazim terjadi.
Sesuai garis politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas aktif, kita tentu tidak ingin menjadi penyambung lidah dua blok yang sedang berebut pengaruh tadi. Kita bukanlah kepanjangan tangan Amerika, sama seperti halnya kita juga bukanlah penyambung lidah China. Saya berharap, prinsip tidak menjadi kepanjangan tangan asing ini juga dianut oleh ormas-ormas keagamaan kita.
Dalam kasus ketidakadilan yang dialami oleh kaum Muslim Uighur, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sangat wajar jika dunia memperhatikan bagaimana sikap Indonesia. Saya sendiri sejak lama telah mendorong munculnya sikap tegas Pemerintah Indonesia atas isu ini. Pemerintah terkesan bisu menghadapi isu Uighur dan Rohingya.
Itu sebabnya, pada Konferensi ke-14 PUIC (Parliamentary Union of the OIC Member States) di Rabat, Maroko, 11-14 Maret 2019 silam, sebagai Ketua Delegasi DPR RI saya mendorong agar isu pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap Muslim Uighur masuk ke dalam resolusi akhir PUIC. Sebagai catatan, PUIC adalah organisasi parlemen bagi negara-negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Saya ingat, usulan dari parlemen Indonesia ini awalnya ditanggapi dingin negara-negara muslim lainnya. Suasana hening. Bahkan sempat ditolak dengan alasan prosedural. Namun, karena lobi dan desakan kuat dari delegasi RI, Sidang Komite Umum akhirnya menyetujui untuk memasukkan isu muslim Uighur ke dalam draft resolusi akhir.
Namun, saya juga paham jika diplomasi Pemerintah Indonesia tak akan bisa bersuara sekeras diplomasi parlemen. Bagaimanapun, dunia saat ini memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap China, terutama bagi negara-negara Afrika dan dunia Islam. Ini juga yang menjelaskan kenapa negara-negara OKI, termasuk Indonesia, cenderung memilih strategi ‘soft diplomacy’ saat berhadapan dengan isu kemanusiaan Muslim Uighur. Pertimbangannya ternyata tak bisa semata-mata soal kemanusiaan, tapi juga kalkulasi politik.
Sepuluh tahun lalu, Turki, misalnya, masih mendukung perjuangan etnis Uighur. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan bahkan pernah menyebut kebijakan China di Xinjiang sebagai “genosida”. Turki bukan hanya memberi suaka bagi para pemimpin Uighur dan pelarian dari Xinjiang, tetapi juga membebaskan mereka untuk melakukan aktivitas politik selama berada di Turki.
Tapi, itu dulu. Saat ini sikap Ankara telah jauh berubah. Sejak 2017, Turki menerapkan kebijakan keras terhadap warga Uighur yang hidup di pengasingan. Mereka tak lagi diizinkan demonstrasi dan melakukan aksi politik di Turki. Saat melawat ke China pada musim panas lalu, Erdogan bahkan balik memuji kebijakan minoritas pemerintah China.
Hal serupa juga terjadi pada Iran. Mereka tak melontarkan kritik apapun terhadap China. Ketergantungan mereka pada China memang besar. Sebab, China adalah importir terbesar minyak Iran, sekaligus salah satu mitra dagang terbesar mereka.
Kita secara telanjang bisa melihat betapa besarnya pengaruh ketergantungan ekonomi dalam menentukan politik luar negeri sebuah bangsa. Ini juga yang menjelaskan kenapa kritik terhadap China atas isu etnis minoritas Muslim Uighur kebanyakan datang dari negara-negara Barat, bukan dari dunia Islam.
Namun, apakah kita bisa memaklumi jika alasan yang sama juga membuat Pemerintah Indonesia bungkam?
Saya ingin mengingatkan Pemerintah, jika politik luar negeri kita adalah bebas aktif, bukan “bebas-pasif”. Artinya, dengan berbagai kendala yang ada, Pemerintah Indonesia harus tetap aktif memperjuangkan isu-isu kemanusiaan. Apalagi saat ini Indonesia adalah anggota Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB.
Kita tentu harus menghormati pemerintah China dalam isu separatisme di Provinsi Xinjiang. Itu adalah urusan dalam negeri mereka. Namun, kita juga perlu menegaskan agar penanganan gerakan separatis tidak sampai melahirkan diskriminasi rasial dan keagamaan, apalagi dengan kekerasan.
Mengutip laporan Amnesty International, saat ini diperkirakan sekitar satu juta penduduk Uighur mengalami penyiksaan dan tidak diketahui nasib mereka sesudah dimasukkan ke “kamp re-edukasi”. Laporan ini sejalan dengan laporan Komite Hak Asasi Manusia PBB yang menyatakan terdapat satu juta muslim Uighur ditahan pemerintah Beijing tanpa proses hukum. PBB dalam hal ini telah mendesak pemerintah China untuk mengakhiri penahanan dan segera membebaskan mereka. PBB juga telah meminta Beijing memberi data tentang jumlah orang yang ditahan dan alasan penahanan.
Pemerintah China sendiri telah mengakui penahanan sejumlah orang tadi. Namun, mereka berdalih tindakan tersebut merupakan upaya untuk mencegah terorisme. Mereka juga membantah menahan orang tanpa proses hukum.
Sebagai catatan, populasi warga muslim Uighur di Xinjiang adalah sekitar 10 juta jiwa. Jumlah etnis Muslim Uighur ini sekitar separuh dari populasi kaum Muslim di China secara keseluruhan, yang mencapai 23 juta jiwa.
Sejauh ini saya melihat Indonesia baru menyampaikan sikap mengenai Uighur hanya melalui forum bilateral dengan China. Saya kira sikap ini tidak cukup. Untuk mewujudkan politik luar negeri bebas aktif, Pemerintah perlu mengambil sikap lebih progresif mengenai hal ini.
Setidaknya ada dua hal yang harus terus kita dorong pada pemerintah China. Pertama, China perlu mengedepankan dialog dengan kelompok-kelompok moderat di Xinjiang dalam rangka memberikan otonomi yang lebih luas dalam hak beragama dan berbudaya. Kita paham jika soal Muslim di Xinjiang ini adalah masalah yang kompleks, bukan hanya isu keagamaan, tapi juga masalah politik, ekonomi, dan budaya. Sehingga, pemerintah China perlu membuka pintu dialog dengan banyak kamar agar tersedia resolusi damai atas konflik yang selama ini berlangsung.
Kedua, Indonesia harus mendorong pemerintah China untuk melibatkan publik dan organisasi internasional dalam menyelesaikan masalah Uighur, terutama negara-negara Islam. Hubungan baik China dengan sejumlah negara Islam, misalnya, bisa dimanfaatkan oleh China untuk membangun dialog dengan golongan minoritas Muslim. Jadikan negara-negara Muslim yang dipercaya China sebagai perantara dialog. Penyelesaian dialogis ini saya kira akan memperkuat kepercayaan dunia internasional pada China.
Saya kira, isu-isu itu perlu didialogkan Pemerintah Indonesia kepada China. Jangan lupa, ikut menciptakan perdamaian dunia adalah salah satu amanat konstitusi kita.
Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota Komisi I DPR RI