Ini Cerita Kiai Muhyiddin Saat Diundang ke China
Jakarta (SI Online) – Pada pertengahan Februari lalu, delegasi khusus dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengunjungi China untuk memastikan kebenaran pemberitaan terkait Muslim Uighur.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, KH. Muhyiddin Junaidi memimpin tim tersebut.
Turut dalam rombongan MUI, Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi KH. Masduki Baidlowi, Ketua MUI Bidang Kerukunan antar Umat Beragama Buya Yusnar Yusuf, Wasekjen MUI Bidang Hukum Rofiqul Umam Ahmad, Wasekjen MUI Bidang Pengembangan Ekonomi Umat, Misbahul Ulum, serta Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI, Sobahus Surur.
Ikut serta pula dalam delegasi tersebut perwakilan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Muhyidin menyebut, perwakilan ormas Islam Indonesia dari Muhammadiyah, PBNU dan MUI yang berangkat ke Xinjiang itu berjumlah lima belas orang. Masing-masing ormas mengirim lima orang diantaranya wartawan cetak dan elektronik.
“Kami bertemu dengan pimpinan CIA (China Islamic Association) yang kebetulan baru atau asosiasi muslim China. Bukan seperti Muhammadiyah, NU atau MUI. Dia ini perpanjangan pemerintah karena tidak ada organisasi di China. Semua harus di bawah kontrol pemerintah di China,” ungkap Muhyidin saat jumpa pers di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2019) seperti dikutip RMOL.co.
Setibanya di Xinjiang, sekitar pukul 08.00 malam waktu setempat, para perwakilan ormas Islam ini dijamu makan malam dan memohon izin kepada Ketua CIA untuk diantarkan salat berjamaah. Namun, Ketua CIA itu mengatakan suhu udara dingin dengan alasan suhu udara 0-17 derajat celcius.
“Mulai saat itu kami mulai mencurigai. Kami masuk ke hotel, memang sudah ada direction of kiblat di tiap kamar. Tapi nampak jelas yang asli dan baru, itu berbeda,” tutur Muhyidin bercerita.
Keesokan harinya, persis ba’da salat Subuh pihak CIA mengajak perwakilan ormas Islam ke museum hingga masjid-masjid dan institute di Xinjiang (Bukan ke Kamp-Kamp). Namun, nampak (di Museum) gambar kekerasan terhadap etnis Uighur yang masuk ke re-education center (Kamp-Kamp).
“Makin meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama. Freedom of religion itu agak susah kita buktikan. Kenapa demikian? Konstitusinya mengatakan bahwa agama diterapkan di ruang-ruang tertutup tidak boleh di ruang terbuka,” kata Muhyidin.
Ia menuturkan, jika ibadah dilalukan di ruang terbuka dianggap radikal dan dapat dibawa ke re-education. Nantinya, jika dikirim ke Kamp-Kamp (re-education center) akan dilatih untuk sekian tahun disana agar memamhami konstitusi China dan bahasa Mandarin.
“Jadi, selama re-education tidak boleh solat, baca Al-Qur’an, tidak boleh puasa, makan seadanya. Itu CCTV every corner. Jadi gadget nggak boleh, terputus dari dunia luar,” kata Muhyidin.
“Menyedihkan, kami diskusi dengan Wakil Ketua CIA dia mengatakan ibadah di atas 18 tahun. Jadi salatnya dirapel delapan bulan, sekian bulan satu tahun,” imbuhnya.
Sesampainya di tanah air, para utusan ormas Islam ini mengaku menemui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan menceritakan kondisi etnis Muslim Uighur di Xinjiang China.
“Setelah kami kembali (Indonesia), kami sampaikan laporan kami itu kepada Menlu Bu Retno. Ada beberapa poin antara lain, kami minta Pemerintah China memberikan kebebasan umat Islam untuk melaksanakan ibadah mereka secara terbuka. Karena itu dijamin oleh piagam PBB,” ujar Muhyidin.
Kendati begitu, Muhyidin belum mengetahui apakah hasil laporan ormas Islam tersebut ditindaklanjuti oleh Menlu.
“Saya tidak tahu Ibu Retno sudah memanggil Dubes China atau belum atau sudah diserahkan atau belum,” tuturnya.
Harapannya, Menlu Retno dapat menindaklanjuti rekomendasi dari sejumlah ormas Islam ini untuk kasus kejahatan kemanusiaan di Xinjiang China tersebut.
“Mudah-mudahan Ibu Menlu sudah menyampaikan Dubes China yang bertugas di Indonesia,” kata Muhyidin.
red: asyakira