Ancaman Diskriminasi terhadap Umat Islam India
Lolosnya Undang-Undang (UU) Amandemen Warga Negara, atau “Citizenship Amendment Bill” (CAB) oleh Majelis Rendah dan Tinggi India, 11 Desember 2019 lalu, sedang menjadi kontroversi, bukan hanya di India, tapi juga di tengah masyarakat internasional. Dunia Islam umumnya mengecam UU tersebut.
UU itu dianggap sebagai UU Anti-Muslim yang bersifat diskriminatif dan bisa menimbulkan persekusi. Sangat disayangkan, negara demokrasi terbesar di dunia tapi diskriminatif dan intoleran.
Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi sendiri mengklaim UU ini akan memberi perlindungan bagi kaum minoritas yang mengalami persekusi agama. Melalui UU ini India bisa memberi kemudahan hak kewarganegaraan kepada para imigran gelap dari tiga negara Muslim tetangganya, yaitu Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Namun, kemudahan itu hanya berlaku bagi mereka yang beragama Hindu, Sikh, Buddhist, Jain, Parsi dan Kristen. Hak yang sama tak diberikan kepada imigran beragama Islam. Jelas sekali Modi bersikap diskriminatif.
Selain itu, UU baru ini bukan hanya akan menghalangi kaum Muslim dalam mendapatkan hak kewaranegaraan di India, namun bahkan bisa membuat kaum Muslim India terancam kehilangan kewarganegaraannya. Diskriminasi terhadap kaum minoritas Muslim inilah yang telah memicu protes, baik di dalam negeri India sendiri, maupun di tengah publik internasional.
Pihak oposisi di India menyatakan undang-undang tersebut bersifat eksklusif dan melanggar prinsip sekuler yang menaungi konstitutsi India. Sebagai catatan, konstitusi India sebenarnya melarang diskriminasi berdasar agama terhadap warga negara, serta menjamin semua orang sama di hadapan hukum. Sehingga, agama dan kepercayaan seharusnya tak boleh dijadikan syarat untuk meraih kewarganegaraan.
Apa yang sedang terjadi di India ini tentunya mengundang keprihatinan kita juga. UU yang diskriminatif terhadap kaum minoritas Muslim di India ini memberi catatan kepada kita mengenai pentingnya mengontrol dan memberi catatan pada merebaknya populisme keagamaan, atau populisme-kanan.
Banyak sarjana umumnya menganggap populisme merupakan penyakit bagi demokrasi. Hal ini disebabkan karena klaim sepihak populisme sebagai satu-satunya yang sah mewakili ‘rakyat’ (populi), sedangkan isme-isme politik lainnya, terutama golongan elite, tidak dianggap sebagai bagian sah dari ‘rakyat’. Sejumlah fenomena politik di berbagai belahan dunia sering diasosiasikan merujuk kepada politik populisme ini, mulai Trump-isme di Amerika Serikat, Brexit di Inggris, Syriza di Yunani, Podemos di Spanyol, Rodrigo Duterte di Filipina, Geert Wilders di Belanda, atau Norbert Hofer di Austria.
Penilaian terhadap gelombang populisme sebenarnya beragam. Namun kebanyakan sarjana dan pengamat umumnya memberikan kecaman kepada populisme karena dianggap hanya meresonansikan kegaduhan di tengah masyarakat demokratis. Populisme dianggap menyebarkan semangat xenophobia, intoleransi, anti-imigran dan pembedaan antara pribumi (authentic people) dan asing (non-authentic people). Intinya, populisme dinilai sebagai preseden buruk bagi demokrasi. Bahkan, ada yang menyempitkan populisme sebagai bentuk konservatisme dan fundamentalisme keagamaan.
Saya sendiri bukan orang yang menganggap populisme berseberangan dengan demokrasi. Gelombang populisme menurut saya muncul sebagai kritik terhadap “elitisme”. Dalam satu segi populisme justru sangat demokratis, karena mengekspresikan kedaulatan rakyat, terlepas dari muatan isu atau kepentingan yang melatarinya. Namun, sebagaimana yang kita lihat dari konteks politik India hari ini, populisme sendiri harus diberi catatan.
Kita harus menyadari bahwa demokrasi memiliki nilai-nilai bawaan yang juga harus dirawat. Selain “kedaulatan rakyat”, demokrasi juga memiliki nilai bawaan berupa “kesetaraan”. Populisme secara umum mungkin kompatibel dengan semangat keadaulatan rakyat. Namun, jika melabrak semangat kesetaraan, populisme jelas perlu diberi catatan atau dikoreksi.
Dalam konteks UU CAB, pada dasarnya UU tersebut mengandung semangat melindungi minoritas, karena meringankan syarat bagi kelompok imigran untuk mendapatkan kewarganegaraan India. Jika dalam UU Kewarganeraan yang lama, syarat imigran untuk melamar menjadi warga negara India harus tinggal di India sekurangya 11 tahun, dengan UU amandemen ini persyaratan dipersingkat hanya enam tahun.
Tapi, problemnya syarat tersebut hanya berlaku bagi enam komunitas agama tertentu saja, dan tidak berlaku bagi mereka yang beragama Islam. Di sinilah letak diskriminatifnya. Tidak ada unsur kesetaraan dalam UU tersebut.
Sehingga, meskipun mengandung semangat melindungi minoritas, di sisi lain UU Kewarganegaraan India ini jadi bersifat diskriminatif. Sebab, UU ini mengabaikan fakta kelompok minoritas yang bisa mengalami tindak persekusi bukan hanya terbatas pada penganut agama-agama lain, tapi juga terjadi pada komunistas Muslim di sekitar India. Seperti kelompok imigran Ahmadiyah yang berasal dari Pakistan, atau Rohingya yang berasal dari Myanmar, adalah kelompok minoritas keagamaan yang mengalami persekusi di negaranya.
Saya berharap Pemerintah Indonesia, ikut menyuarakan aspirasi umat Islam Indonesia yang prihatin dengan politik diskriminasi yang mengancam saudara-saudara Muslim di berbagai negara termasuk di India. Sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia, dan baru terpilih sebagai Anggota Dewan HAM PBB, Indonesia memiliki kapasitas untuk turut merespon situasi yang terjadi di India hari ini. Bahkan situasi yang dialami muslim di Palestina, Rohingya, Uighur dan lain-lain.
Secara bilateral, sebagai sesama negara demokrasi terbesar di dunia, pemerintah Indonesia bisa membangun proses dialogis dengan pemerintah India. Kedekatan kedua negara sangat memungkinkan membahas isu yang sangat sensitif tersebut secara lebih terbuka. Apalagi konon Presiden Joko Widodo dikenal cukup dekat pdengan Perdana Menteri Narendra Modi. Hubungan baik tersebut seharusnya dimanfaatkan.
Secara multilateral, Indonesia juga dapat mengoptimalkan perannya saat ini sebagai Anggota Dewan HAM PBB. Apalagi Kantor PBB untuk HAM (OHCHR) juga sudah menyatakan keprihatinannya. Sehingga, baik secara bilateral maupun multilateral, Indonesia memiliki kapasitas memadai untuk berperan lebih aktif. Ini sejalan dengan perintah konstitusi kita, yaitu ikut menciptakan perdamaian dunia.
Saya kira, catatan atas India ini juga berlaku bagi praktik demokrasi di negeri kita. Demokrasi harus bisa melindungi kaum minoritas. Artinya, jika minoritas saja dilindungi, rasa keadilan kaum mayoritas tentunya juga tidak boleh dicederai. Jangan sampai justru tak ada keadilan bagi kaum mayoritas. Keadilan untuk semua dan setara.
Dr. Fadli Zon, M.Sc., Alumnus London School of Economics (LSE) Inggris; Anggota Komisi I DPR RI