Banjir, Musibah di Awal 2020
Sebagian orang menyambut tahun baru dengan penuh semangat dan optimisme. Berharap tahun 2020 lebih baik dari tahun sebelumnya. Sepertinya, awal tahun baru menjadi hari yang tidak terlupakan untuk warga Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Banjir menjadi kado pahit di awal tahun. Hujan deras yang turun seharian penuh sejak Selasa malam hingga Rabu pagi (1/1/2020) menyebabkan banjir.
Secara keseluruhan, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi (Kapusdatinkom) BNPB, Agus Wibowo menyebut setidaknya ada 169 titik banjir di seluruh wilayah Jabodetabek dan Banten. Titik banjir terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat yakni 97 titik, DKI Jakarta 63 titik dan Banten 9 titik. Kedalaman banjir tertinggi sebesar 2,5 m terjadi di Perum Beta Lestari, Jatirasa, Jatiasih, Kota Bekasi. “Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah yang paling terdampak banjir adalah Kota Bekasi (53), Jakarta Selatan (39), Kabupaten Bekasi (32), dan Jakarta Timur (13),” sambung Agus (tirto.id 2/1/2020)
Seringnya terjadi bencana banjir di negeri ini bukan disebabkan oleh curah hujan saja. Sebab hujan adalah anugerah dari Allah swt. Mengutip tulisan ustadz Iwan Januar, bahwa penyebab banjir karena 2 hal. Pertama, kekuasaan Allah swt yang menurunkan dan memberi kekuatan pada air dan menggenangi dataran rendah. Kedua, ada kemungkinan yang dilakukan manusia hingga menyebabkan banjir akibat melawan sunatullah yang ada di alam semesta.
Hakikatnya, alam diciptakan Allah swt untuk segala aspek kehidupan manusia. Hutan, sungai ataupun waduk dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tentunya sumber daya alam seperti sungai dan hutan mempunyai nilai ekonomi yang menguntungkan. Serta sebagai daerah resapan air hujan. Namun, liberalisasi sumber daya alam menghilangkan fungsinya dan merusak tatanan ekosistem saat ini. Penebangan liar jutaan hektare setiap tahun menyebabkan hutan hancur. Limbah serta sampah membuat sungai tercemar. Semuanya akan berdampak pada perubahan cuaca yang ekstrem.
Selain itu, banjir terjadi karena pemerintah tidak meri’ayah tata ruang kota dengan benar. Kesalahan dalam pengelolaan lahan hijau, seperti hutan kota atau hutan mangrove, ditangan para kapitalis diubah menjadi perumahan elite dan bangunan lainnya. Membuat daerah resapan air semakin berkurang. Kerusakan alam saat ini, tidak terlepas dari keserakahan tangan-tangan manusia.
Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum 30: Ayat 41)
Permasalahan banjir bisa diselesaikan dengan cara teknis dan ideologis. Semestinya umat membuang sistem kapitalis yang lebih mengutamakan kepentingan pengusaha yang berperan dalam pengerusakan alam. Sementara, sistem Islam memiliki seperangkat aturan menjamin seluruh aspek kehidupan terjaga. Allah swt memberikan kekayaan alam untuk dimanfaatkan sesuai kebutuhan manusia tanpa melampaui batas.
Pengelolaan kota secara umum dalam pandangan Islam merupakan visi-misi jangka panjang. Pembangunan gedung-gedung atau kawasan industri tidak boleh merusak lingkungan hidup dan mengambil ataupun merusak daerah resapan air hujan. Untuk mengantisipasi debit air yang amat besar, diperlukan penampung air selain sungai. Seperti danau buatan, kanalisasi, tanggul bahkan saluran drainase untuk membendung volume air. Banjir bisa saja terjadi lagi bila tidak dibarengi oleh sistem pengelolaan sampah yang baik. Pentingnya edukasi dan kesadaran kepada masyarakat terkait kedisplinan membuang sampah.
Dalam aspek kebijakan dan Undang-undang, Negara harus menjamin serta mengawasi bahwa rencana pembangunan harus menyediakan lahan terbuka sebagai daerah resapan air. Negara harus mengeluarkan syarat-syarat pengelolaan tata ruang kota dengan konsep sesuai syariat Islam. Menindak tegas segala pelanggaran yang ada dengan sanksi berat. Serta sosialisasi pentingnya menjaga kebersihan lingkungan hidup.
Seberapa banyak program penanggulan banjir tidak akan berhasil. Permasalahan utamanya adalah sistem kapitalis yang dianut penguasa negeri ini. Tentu saja sistem kufur tersebut hanya akan melayani para pengusaha kapital dalam membangun kepentingannya. Hal ini sangat berbeda jauh dengan sistem Islam yang menjaga kelestarian alam. Bahkan membangun peradaban tanpa merusak alam yang rentan mendatangkan bencana alam. Waallahu a’lam bishshawab.
Eri Hussen
Ibu Rumah Tangga, Aktif Kajian Remeja, Tinggal di Curug, Tangerang