Potret KPU Semakin Buram
Kasus korupsi di negeri ini seolah tidak ada habisnya. Terbaru diberitakan bahwa komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan korupsi (KPK). Selanjutnya KPK telah menetapkan mantan kader GMNI ini sebagai tersangka penerimaan suap terkait pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024.
Selain Wahyu, KPK juga menjerat mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina (ATF), caleg DPR RI dari PDIP Harun Masiku (HAR) serta seorang swasta bernama Saeful (SAE).
Penangkapan Wahyu ini jelas mencoreng wajah KPU yang sejatinya sebagai penyelenggara pemilihan anggota dewan hingga pemilihan presiden. Padahal sebelum ini rakyat sejatinya sudah didera dengan ketidakpercayaan terhadap kinerja KPU. Tersebab ada banyak hal yang terjadi di pemilihan presiden sebelumnya yang menyisakan berbagai pertanyaan publik.
Maka OTT ini sesungguhnya bisa jadi menjadi resep awal yang mengobati praduga yang ada di tengah masyarakat. Sebagai konfirmasi banyaknya pertanyaan atas segala peristiwa. Di sisi lain, sadar adanya efek delegitimasi lembaga atas OTT ini, ketua Komisiaris KPU Arief Budiman beserta komisioner KPU yang lainnya yakni Pramono Ubaid Tantowi, Ilham Saputra, dan Firyan Aziz kemudian menyambangi KPK untuk mengkonfirmasi penangkapan Wahyu.
Nampaknya, ada goresan ketakutan pada mereka karena tidak menutup kemungkinan komisi yang diterima Wahyu juga didistribusikan secara merata kepada anggota lainnya. Apalagi tipologi korupsi politik selalu dilakukan secara kerja bakti, terstruktur, sistematis dan saling menutupi. Tak menutup kemungkinan, akan muncul nama-nama pemberi suap lainnya melalui kasus ini.
Dari sini, rakyat semakin tidak percaya pada kualitas pemilihan, penyelenggaraan pemilihan, termasuk hasil pemilihan. Terlebih, kredibilitas pemenang pilpres yang hingga saat ini terus dipertanyakan. Semakin parah posisinya pasca OTT komisioner KPU ini di depan rakyat. Memang benar, belum tentu OTT ini terkait pilpres, namun OTT ini membuktikan bahwa KPU ternyata tidak steril dari praktik korupsi. Potret KPU yang selama ini dikatakan hanya bekerja di atas Undang-undang semakin buram di mata publik.
Ternyata, KPU juga tak beda dengan lembaga lain. Di sini fakta di era domokrasi nyaris tidak ada satu lembaga pun di negara ini yang bersih dari kasus korupsi. Inilah wajah demokrasi. Demokrasi memang rusak dan merusak. Dengan ditangkapnya komisioner KPU, semakin terungkap bobroknya demokrasi.
Jabatan yang bermula dibeli dengan suap, sangat nyata ke depan akan menimbulkan lingkaran setan korupsi yang tak akan pernah ada habisnya. Bahkan dari kajian KPK sebelumnya dikatakan bahwa mengguritanya kasus korupsi di kalangan politisi tersebab partai politik kesulitan dalam mengumpulkan pendanaan yang bersumber dari iuran anggota, atau sumbangan. Kesulitan ‘hidup’ parpol inilah yang mengakibatkan partai politik bergantung pada para ‘pemilik modal’ demi membiayai organisasinya.
Nyata, inilah fakta politik dalam demokrasi. Betapa besar mahar yang harus dikeluarkan untuk bisa menjabat sekedar kepala daerah atau DPRD. Biaya politik yang mahal menjadikan mereka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang demi pembiayaan partai politiknya. Sungguh miris! Jikalau mereka akhirnya terpilih menjadi DPRD ataupun kepala daerah bahkan kepala negara bisa dipastikan akan banyak upaya untuk mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan di masa kampanye berikut suap untuk mendapatkan jabatan. []
Ifa Mufida
(Pemerhati Kebijakan Publik)