Jangan Politisasi Data Kemiskinan
Jelang pilkada serentak 2018 dan pemilihan presiden (pilpres) 2019, apa saja bisa menjadi dipolitisasi demi kepentingan meraup suara. Termasuk kemiskinan. Ya, Kemiskinan rakyat yang tergambar dalam data kemiskinan, baik di tingkat nasional dan daerah laris digoreng. Sejumlah calon kepala dalam rangka berlomba memakai data isu kemiskinan, baik saat kampanye maupun debat terbuka. Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai penggunaan data dengan tujuan politik tertentu memang tercium jelang tahun politik. Kata Indria, bentukan data pun bisa berbeda, tergantung pesanan yang punya kepentingan. Politisasi data (kemiskinan) tergantung siapa yang buat dan untuk kepentingan apa.
Data ini, kata Indria, dibungkus sedemikian rupa untuk mencari titik lemah dari satu pasangan dengan pasangan yang lain. Isu kemiskinan ini juga masih dianggap efektif mengenai masyarakat karena langsung dapat dirasakan masyarakat. (CNNIndonesia.com, 21/4).
Ironis. Kemiskinan harusnya diselesaikan malah dijadikan alat untuk saling menjatuhkan lawan politik. Disisi lain tak jua dihadirkan solusi yang sistemik. Karena masih sama-sama dalam framework sistem ekonomi kapitalisme.
Memang, Data akurat dibutuhkan untuk pertimbangan dalam menyusun kebijakan. Data menjadi bahan muhasabah penyusun kebijakan, apakah selama ini kebijakannya sudah benar-benar bermanfaat bagi rakyat ataukah belum. Tapi mengukur keberhasilan hanya berdasar data dan angka saja pun tak bijak.
Pemerintah berdalih angka kemiskinan terus menurun, tapi bagaimana fakta di lapangan? Apakah jumlah penduduk miskin yang 18% dari 260juta jiwa tu adalah ‘HANYA’? Kesejahteraan adalah sesuatu yang nyata harus dirasakan oleh rakyat. Bukan angka, bukan opini, bukan persepsi satu pihak saja.
Belum lagi melihat dari sisi Standar Kemiskinan. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp354,386 (atau sekitar USD $25). Bayangkan berarti rata-rata Rp 10.000/ hari.
Apalagi jika kita menghitung angka kemiskinan penduduk Indonesia menurut standar Bank Dunia, yaitu yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari. Bisa dibayangkan angka penduduk miskin akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup bukan lagi miskin, tapi hampir di bawah garis kemiskinan.
Indonesia sesungguhnya tak pantas menjadi negara dengan banyak penduduk yang miskin. Bukankah Sumber Daya Alam Indonesia sangat kaya? Laut, Bumi, Keindahan Alam, Masya Allah, tak perlu disebutkan lagi. Indonesia sampai disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa.
Lalu mengapa penduduknya malah banyak yang miskin. Pasti ada yang salah. Salah kelola. SDA yang melimpah nyatanya diberikan kepada Asing dan Aseng. Sumber-sumber vital seperti Air, BBM, dikuasai Swasta. Semuanya akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Di sistem ini, Negara HARAM mengelolanya sendiri. Negara hanya bertugas sebagai regulator saja. Akibatnya, sektor-sektor yang vital bagi hajat manusia menjadi mahal, karena menjadi barang jualan pihak swasta.
Kesalahan urus ini yang seharusnya menjadi isu dalam perdebatan para calon pemimpin. Sekaligus menawarkan solusi diluar dari framework sistem kapitalisme. Mau pakai sistem sosialisme? Untuk apa, sudah jelas-jelas sistem ini gagal.
Islam sebagai sebuah ideologi, punya solusi paripurna untuk masalah kemiskinan ini. Sayangnya, ini yang jarang dilirik oleh para politisi pada umumnya.
Pertama, islam menetapkan akar problem kemiskinan adalah buruknya masalah distribusi. Sementara dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan kelangkaan barang dan jasa seperti dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Faktanya, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.
Kedua, Islam memiliki seperangkat aturan yang sistematis untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Mulai dari hukum tentang nafkah, hukum kepemilikan, hukum pengelolaan kepemilikan, hukum upah, dll. Hukum Kepemilikan misalnya, SDA adalah kepemilikan umum, artinya semua rakyat berhak merasakan manfaatnya. Haram dikelola individu. Negara berperan penuh dalam penerapan dan pengelolaannya. Karena, Negaralah yang memang wajib mengurus seluruh kebutuhan rakyatnya, bukan sekedar regulator.
Ketiga, fakta sejarah membuktikan bahwa sistem islam pernah berhasil menuntaskan masalah kemiskinan. Bahkan, memberikan kesejahteraan yang belum pernah diwujudkan sistem lainnya. Salah satunya bisa kita baca dari sejarah masa kekhilafahan Umar bin Khattab ra.
Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab selama 10 tahun, di berbagai wilayah (propinsi) yang menerapkan islam dengan baik, kaum muslimin menikmati kemakmuran dan kesejahteraan. Kesejehteraan merata ke segenap penjuru.
Buktinya, tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin Jabal di wilayah Yaman. Muadz adalah staf Rasulullah Saw yang diutus untuk memungut zakat di Yaman. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya Al-Amwal hal. 596, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata,”Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz menjawab,“Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.”
Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata,”Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.” (Al-Qaradhawi, 1995)
Subhanallah! Betapa indahnya kisah di atas. Bayangkan, dalam beberapa tahun saja, sistem ekonomi Islam yang adil telah berhasil meraih keberhasilan yang fantastis. Dan jangan salah, keadilan ini tidak hanya berlaku untuk rakyat yang muslim, tapi juga untuk yang non-muslim. Kisah diatas sedikit gambaran kemakmuran dan kesejahteraan di bawah sistem ekonomi Islam yang adil. Kemiskinan menjadi prioritas penguasa untuk segera diselesaikan, bukan dipolitisasi atau dimanfaatkan.
Sudah saatnya para elit politik beserta umat berpaling kepada Islam. Memanfaatkan isu kemiskinan untuk membuka mata umat agar memahami islam sebagai solusinya. Kemudian Berjuang bersama untuk menerapkan islam dalam sistem pemerintahan Islam. Kemiskinan akan tuntas berganti dengan kesejahteraan yang diberkahi Allah Rabb Semesta Alam. Wallahu a’lam bi shawab.
Idea Suciati, S.S
(Member Revowriter tinggal di Jatinangor)