Buya Anwar Heran, Cendekiawan Sibuk Bicara Radikalisme tapi Lupa Sekulerisme-Liberalisme
Jakarta (SI Online) – Buya Anwar Abbas, salah seorang Ketua PP Muhammadiyah, mengaku heran karena sejumlah rekannya dari kalangan akademisi dan cendekiawan saat ini sibuk bicara tentang radikalisme, yang ujung-ujungnya bicara tentang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Buya Anwar mengaku menyadari, bahwa di negeri ini HTI ada masalah. Namun ia mempertanyakan, kenapa yang tampak dan banyak dibicarakan cuma HTI.
“Apakah masalah sekulerisme dan liberalisme-kapitalisme tidak berbahaya bagi kehidupan dan masa depan bangsa ini?,” tanya Buya Anwar Abbas dalam tulisan singkatnya yang beredar di grup WhatsApp, Kamis 30 Januari 2020.
Sekulerisme dan Liberalisme/Kapitalisme, bagi Buya Anwar, daya rusaknya jauh lebih hebat. Sebab pemikiran-pemikiran tersebut tidak hanya akan menggugat eksistensi negara tapi juga akan menginjak-injak harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan.
“HTI ada, tapi dia tidak masuk ke dalam kurikulum. Bagaimana dengan paham-paham yang tidak sejalan dengan Pancasila tersebut? Dia kita masukkan ke dalam kurikulum kita dan kita ajarkan,” kata Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
Dosen Ekonomi Islam di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengaku sudah pernah menyampaikan kepada Presiden Jokowi tentang keresahannya itu.
“Pak presiden, kata saya, bapak menginginkan terciptanya anak-anak bangsa yang memiliki karakter. Dan karakter itu menurut bapak tercermin dalam sila-sila yang ada dalam Pancasila. Tapi bagaimana keinginan bapak itu akan bisa tercapai kalau ekonomi yang diajarkan adalah ekonomi liberalisme-kapitalisme. Sosiologi yang diajarkan itu adalah sosiologi Auguste Comte yang positivistik dan psikologi yang diajarkan adalah psikologi Sigmund Freud yg atheistik,” kata Buya Anwar.
“Pertanyaan saya, mengapa tidak kita kembangkan dan ajarkan di perguruan tinggi kita ekonomi Pancasila. Silahkan diajarkan yang liberalistik dan sekuleristik tersebut, tapi ajarkan juga yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila kita. Itu baru fair dan itu baru cita-cita bapak akan bisa terwujud kata saya,” lanjutnya.
Buya Anwar lalu bercerita, usai menyampaikan pandangannya itu kepada Presiden, Mensesneg Pratikno lalu mendekati dirinya. Mantan Rektor UGM Yogyakarta itu mengatakan bila gagasan dirinya itu dicatat oleh Presiden.
“Saya senang. Tapi sampai hari ini jangankan semakin jelas, bagi saya arahnya malah semakin kabur dan membingungkan. He..he…he…,” pungkasnya.
red: shodiq ramadhan