Sedih, Rakyat kok Dianggap Beban
Pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS sudah dilakukan sejak tahun 2005-2014, setidaknya sudah ada 1.070.092 orang yang berhasil menjadi abdi negara. Sekarang sisanya ada sekitar 438.590 orang tenaga honorer di lingkungan pemerintahan. Sayangnya kini para tenaga honorer itu terancam nasibnya, bahkan berada di ujung tanduk.
Hal tersebut terkait akan dihapuskannya tenaga honorer di lingkungan pemerintahan oleh Pemerintah pusat, seperti apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.. Di dalamnya disebutkan, bahwa hanya ada dua jenis status kepegawaian, yakni aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Dikutip dari detikfinance, Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo bahkan menyatakan bahwa anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer. Pasalnya, tidak sedikit kepala daerah yang meminta anggaran gaji untuk tenaga honorer yang bertugas di lingkungan pemda dipenuhi oleh pusat.
Penghapusan tenaga honorer sejatinya menunjukkan bahwa Negara gagal mengatasi masalah penyaluran tenaga kerja. Karena pada awalnya rekrutmen tenaga honorer adalah upaya mengurangi pengangguran sekaligus keuntungan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah mampu mendapatkan tenaga yang mau dibayar rendah (sesuai budget Negara) karena belum berpengalaman atau karena janji direkrut sebagai ASN.
Selain itu, peraturan tentang ketenagakerjaan tersebut juga semakin menegaskan cara pandang pemerintah terhadap rakyat. Dimana rakyat hanya dipandang secara ekonomis sehingga apabila keberadaannya merugikan akan dianggap sebagai beban anggaran dan negara. Hingga muncul beberapa selentingan dimana para pekerja akan digantikan robot yang tidak perlu digaji setiap bulannya.
Apa yang terjadi merupakan hasil dari penerapan sistem kapitalis sekuler oleh rezim yang berkuasa, dimana untung rugi hanya diukur dari pendapatan materi semata dan bukan lagi dari keberkahan yang ada di dalamnya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan apa yang diberikan Islam kepada rakyatnya.
Islam jelas memandang bahwa manusia adalah mahluk yang harus dimuliakan. Artinya, diperhatikan hak hidupnya termasuk hak mendapat pekerjaan yang layak dan dijamin kebutuhannya. Islam menjamin pekerjaan bagi setiap rakyat yang wajib bekerja, yakni para laki-laki baligh yang telah mampu dan layak bekerja. Sedangkan perempuan sama sekali tidak dieksploitasi untuk wajib bekerja. Islam juga tidak pernah memandang rugi mempekerjakan laki-laki yang notabene dalam sistem kapitalis lebih besar upahnya dibanding tenaga perempuan.
Selain itu, rekrutmen pegawai Negara dalam Islam tidak mengenal istilah honorer. Karena pegawai Negara akan direkrut sesuai kebutuhan riil Negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi. Semua digaji dengan akad ijarah dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaan. Sumber gaji bisa diambil dari kas negara atau baitul maal. Apabila kas baitul maal tidak mencukupi, maka bisa ditarik dlaribah/pajak yang bersifat temporer. Keutamaan lainnya yang Islam berikan adalah karena terbukanya lapangan kerja secara mudah dan standar kelayakan yang sama, maka menjadi ASN bukanlah satu-satunya pekerjaan yang dikejar oleh warga untuk mendapat beragam jaminan hidup layak dan tunjangan hari tua.
Oleh karena itu, melihat mirisnya fakta yang ada terkait tenaga honorer di negeri ini, alangkah bijaknya apabila kita selesaikan akar masalahnya dengan solusi yang solutif. Yakni menghapuskan sistem kehidupan kapitalis sekuler dan menggantinya dengan sistem yang mulia, yakni sistem Islam. Wallahu a’lam bishshawaab.
(Ummu Alliwa)