Dimensi Politik Isra’ Mi’raj
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Isra’ [17]: 1)
Mengapa perjalanan Rasulullah di malam hari dengan menaiki Buraq atau yang dikenal dengan Isra’ mengambil rute Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha, Al Quds, Palestina?. Mengapa tidak ke tempat lain?. China, misalnya.
Inilah pertanyaan menggelitik yang harus dijawab. Sebab selama ini ceramah-ceramah dalam peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw selalu membicarakan kewajiban shalat. Jarang atau bahkan belum ada mubaligh yang berceramah tentang dimensi politik di balik peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Adalah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, seorang guru besar di Kuwait, melalui kitabnya Qira’ah Siyasiyah Li Sirah Nabawiyah yang menjelaskan dimensi politik, sosial dan spiritual di balik peristiwa yang terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah itu. Menurut Syaikh Rawwas, ada tiga dimensi politik peristiwa Isra’ Mi’raj.
Pertama, sesungguhnya kepemimpinan dunia hingga terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj berada di tangan Bangsa Israil. Sebab agama samawi yang masih ada, yakni Yahudi dan Kristen, adalah agama Bangsa Israil. Akan tetapi orang-orang yang mengemban agama tersebut sudah tidak layak lagi untuk memimpin. Mereka telah menjual agama dan ideologi mereka dengan harga murah, dengan mendistorsi agama dan mengganti petunjuk-petunjuk yang menjadi ciri khasnya.
Dengan demikian, ideologi yang saat itu memimpin dunia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Otomatis orang-orang yang mengembannya pun tidak berhak lagi atas kepemimpinan dunia. Dengan demikian harus ada ideologi baru yang lurus dan orang-orang yang bersih dan terpercaya untuk menggantikan agama sebelumnya dan menggantikan posisi Bangsa Israil.
Maka kehadiran Rasulullah Saw di Al Aqsha menjadi pertanda bahwa agama Islam yang dibawa beliau dan umat Islam yang dipimpin oleh beliaulah yang bakal memegang tampuk kepemimpinan dunia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Rasulullah memilih gelas berisi susu (yang mencerminkan fitrah) dan Jibril as mengatakan, “Kamu telah membimbing menuju fitrah, kamu telah membimbing umatmu”.
Kedua, Rasulullah tampil menjadi imam ketika shalat bersama para nabi. Artinya Rasulullah adalah pemimpin. Dengan demikian telah terjadi perubahan politik yang sangat mendasar. Fakta ini menunjukkan terjadinya pergeseran kepemimpinan dari Bani Israil kepada umat Muhammad.
Maka, sejak terjadinya peristiwa ini, ajaran-ajaran, ideologi-ideologi yang telah mengalami penyimpangan selanjutnya digantikan oleh Islam, sebagai agama dan ideologi yang baru, bersih dan sesuai fitrah. Perubahan ini adalah perubahan yang konstitusional (masyru’). Karena yang menyetujui perubahan adalah para nabi, orang-orang yang benar-benar mewakili umat (representatif) dan cendekiawan yang tidak mungkin berbuat salah (ma’shum). Karena itu pihak yang menentang perubahan ini berarti inkonstitusional. Maka wajar bila kemudian, ketika Daulah Islam di Madinah berdiri, pihak-pihak yang menentang dari golongan Yahudi langsung dibersihkan. Sebab mereka melakukan tindakan inkonstitusional.
Ketiga, sesungguhnya peristiwa Isra’ ke Baitul Maqdis menunjukkan bahwa Al Quds adalah bakal wilayah kekuasaan Daulah Islam yang akan berdiri. Fakta Rasulullah Saw diangkat menjadi imam shalat jamaah dengan makmum para Nabi menunjukkan bahwa tuan rumahlah yang lebih berhak menjadi imam. Artinya beliaulah sejatinya pemilik/penguasa atas Baitul Maqdis, bukan yang lainnya. Begitu juga ikutnya para Nabi terhadap beliau dalam shalat menjadi bukti pengakuan mereka bahwa Baitul Maqdis merupakan salah satu wilayah di antara sejumlah wilayah Islam yang nantinya akan berkibar di sana bendera Islam.
Maka bila saat ini wilayah al Aqsha berada di bawah pendudukan Zionis Israel, melalui peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw mestinya mampu menyadarkan umat Islam untuk bangkit merebut kembali wilayah itu. Sebab wilayah itu adalah wilayah Islam dan hak milik umat Islam. Peringatan Isra’ Mi’raj juga harus membangkitkan umat untuk kembali menjadi pemimpin dunia dan mengalahkan ideologi-ideologi lain yang menyimpang dan membuat kerusakan di muka bumi. Dengan demikian peringatan Isra’ Mi’raj menjadi lebih bermakna. Wallahu a’lam bishshawaab.
(Shodiq Ramadhan)