Tarik Ulur Lockdown, Solusi Setengah Hati?
Tagar #TolakDaruratSipil memuncaki trending topic Twitter hingga Selasa siang, 31/3/2020. Tagar tersebut mulai digencarkan netizen pada Senin, 30/3/2020, sebagai respon publik terhadap pernyataan Presiden Jokowi.
Sebagaimana diberitakan detik.com, 30/3/2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan saat ini pembatasan sosial skala besar perlu diterapkan. Maka kebijakan darurat sipil perlu dijalankan. Pernyataan presiden tersebut dikemukakan dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19 dan disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden pada Senin, 30/3/2020.
Pernyataan presiden tidak hanya membuat geger publik. Berbagai suara kritis pun terdengar dari berbagai pihak. Pengamat hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Muhtar Said misalnya. Ia mengatakan penerapan darurat sipil mengarah pada kekuasaan otoriter.
Lulusan Magister Hukum Universitas Diponegoro tersebut berpendapat pemerintah pusat lebih baik menggunakan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan (UU Nomor 6/2018) agar lebih efektif untuk menanggulangi wabah Covid-19. (rmol.id, 30/3/2020).
Senada dengan Muhtar Said, eks-Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu dalam cuitannya di akun Twitter-nya pada Senin, 31/3/2020 menulis:
“Ada undang-undang karantina wilayah yang bisa digunakan, sekarang mau gunakan UU tahun 59 untuk darurat sipil. Ini semua akal-akalan untuk: 1. Lari dari tanggung jawab untuk penuhi kebutuhan rakyat karena nggak ada lagi uang. 2. Lebih mengutamakan kekuasaan daripada menyelamatkan nyawa rakyat.”
Besarnya gelombang kritik dan protes publik, akhirnya membuat pemerintah memilih menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Dua peraturan pun diterbitkan guna mendukung opsi ini, yakni PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keputusan Presiden atau Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Dalam jumpa pers di Istana Bogor pada Selasa, 31/3, presiden menjelaskan yang menjadi dasar hukum kedua aturan ini adalah UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. (kumparan.com, 31/3/2020).
Dalam cuitan di akun Twitter-nya pada Senin malam, 31/3/2010, presiden juga melarang para kepala daerah membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi. Semua kebijakan di daerah harus berada dalam koridor undang-undang dan PP serta Keppres tersebut.
Menetapkan PSBB sebagai opsi untuk menuntaskan wabah Covid-19 dan melarang daerah membuat kebijakan sendiri merupakan solusi yang setengah hati. Pemerintah nyata tidak berani memberlakukan lockdown sebagai solusi jitu wabah Covid-19.
Sebaliknya pemerintah malah membuat dan mencari berbagai istilah untuk menangani Covid-19. Sembari memberikan solusi lucu kepada rakyat untuk menekan penyebaran virus Covid-19. Mulai dari makan dan tidur sendiri-sendiri hingga menyalahkan rakyat miskin yang katanya menjadi sumber penyebaran virus corona.
Padahal kasus positif Covid-19 terus bertambah seiring berjalannya hari. Hampir satu bulan wabah ini menyapa, tapi belum ada tanda-tanda menurunnya jumlah kasus positif Covid-19. Bahkan tercatat per Senin, 30/3, kasus positif Covid-19 mencapai 1.414 pasien, 75 di antaranya sembuh dan 122 orang meninggal. Sayangnya, meski terus bertambah, pemerintah seolah enggan menetapkan opsi lockdown sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 6 tahun 2018.
Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Refly Harun pun menilai pemerintah menghindari lockdown karena tak ingin menanggung kebutuhan dasar masyarakat selama karantina. (kumparan.com, 31/3/2020).
Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pasal 55 menyebut “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.”
Kebutuhan dasar yang dimaksud terdapat dalam Pasal 8 UU tersebut yang berbunyi, “Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.’
Alhasil pemerintah memilih opsi menetapkan PSBB. Sebab dalam ketentuan PSBB tidak diatur kewajiban bagi pemerintah menanggung biaya hidup masyarakat. Sedangkan jika memilih opsi darut sipil, faktanya tidak sesuai dengan kondisi yang dijelaskan dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959.