Nggak Sengaja Kritik
Siapa yang suka dikritik? Pada umumnya, manusia lebih senang dipuji daripada dikritik. Menurut wikipedia, kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.
Jika kita berkaca pada definisinya secara umum, kritik adalah wujud lain dari muhasabah atau koreksi. Tidak semua kritik itu buruk. Dan tidak semua kritik itu baik. Tergantung pada apa yang dikritik. Bila kritiknya pada kebijakan atau kinerja seseorang yang cenderung berat sebelah, berlaku zalim, merugikan orang lain, dan sewenang-wenang, maka kritik semacam ini wajib. Sebab, kritik jenis ini adalah dalam rangka memperbaiki kesalahan, meluruskan kebijakan yang bengko alias salah jalan, mencegah terjadinya kezaliman, dan menghindarkan dari perbuatan yang merugikan orang lain.
Jika kritik tentang warna kulitnya, ras, agama, bentuk wajahnya dan segala hal yang berhubungan dengan fisik barulah itu dikatakan ejekan, hinaan, dan ujaran kebencian. Masih menurut wikipedia, ujaran kebencian (Inggris: hate speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, caca, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
Sayangnya, praktik kritik dan ujaran kebencian saat ini diterapkan secara bias. Kritik mudah dibungkam dengan beragam alasan. Hal ini biasanya menimpa kaum oposisi pemerintah. Sebutan kadrun pun otomatis tersemat. Seperti kasus Said Didu dan sejumlah aktivis lain yang sebelumnya pernah merasakan berada di sel penjara. Ketimpangan hukum begitu telanjang dipertontonkan. Kritik dianggap ujaran kebencian. Biasanya yang dikritik tidak terima hingga berujung pada pelaporan. Hal ini berbanding terbalik manakala yang dinilai ujaran kebencian adalah kelompok atau individu pro penguasa.
Kritik itu baik asal disampaikan secara lugas, jelas, dan tepat. Kritik harusnya dijawab dengan perbaikan kinerja dan kebijakan yang berkeadilan. Sayangnya, sejauh ini kritik selalu dijawab dengan ‘pukulan’ dengan tangan kekuasaan. Kritik tak semestinya dipandang negatif. Sebab, tak akan ada kritik jika kinerjanya baik. Kritik itu ada karena ada ketidakberesan mengurus negara. Artis saja kalau aktingnya tidak bagus ya pasti dikritik. Apalagi seorang kepala negara. Keputusannya menentukan nasib rakyat. Tanda tangannya menjadipermulaan ketok palu sebuah kebijakan.
Tengok bagaimana Khalifah Umar bin Khattab begitu senang bila dikritik. Beliau tak suka bila dipuji. Namun hari ini, yang terjadi sebaliknya. Tak heran bila penguasa sekarang dinilai baperan. Dikit-dikit laporan. Dikit-dikit mengancam. Padahal kebijakannya dikit-dikit menyusahkan rakyat saja.
Tulisan ini ‘nggak sengaja’ untuk mengkritik. Karena ketidaksengajaan harusnya dibiarkan. Seperti yang baru-baru ini viral. Kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan menemui titik temunya. Yakni, faktor ketidaksengajaan. Tagar #GakSengaja pun menjadi buah bibir di jagat maya. Pelaku penyiraman terhadap Novel hanya dituntut satu tahun penjara.
Maaf ya Pak, saya juga nggak sengaja nyindir. Tidak perlu baper. Karena kritik saya adalah tanda cinta untuk Bapak-Bapak di singgasana. Kami hanya rakyat jelata. Bisanya menyampaikan aspirasi lewat tulisan dan media sosial. Dan yang utama, kritik kami adalah untuk memenuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kritik itu realisasi amar makruf nahi mungkar.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban