PDIP dalam Pusaran Trauma Politik PKI
Badai politik sedang menerpa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bila salah mengelola dan mengantisipasi, bukan tidak mungkin berubah menjadi tsunami politik. Mengancam basis elektoralnya.
Situasinya cukup genting. Ketua Umum PDIP Megawati sudah memerintahkan para kadernya “merapatkan barisan.” Fraksi PDIP menyerukan perlawanan.
Seruan itu dikeluarkan menyusul pembakaran bendera partai oleh massa pengunjukrasa penentang RUU Haluan Ideologi Pancasila (PDIP) di Gedung MPR/DPR.
Baca juga: Bendera PDIP Dibakar Massa Anti Komunis, Megawati Keluarkan Surat Perintah Harian
Bendera merah dengan simbol kepala banteng moncong putih itu dibakar bersama bendera merah dengan simbol palu arit.
Pengunjukrasa tampaknya secara tegas ingin menyampaikan pesan bahwa PDIP sama berbahayanya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai terlarang itu beberapa kali melakukan pemberontakan, namun gagal.
Gerakan perlawanan publik sungguh mengagetkan. Tampaknya tidak masuk dalam kalkulasi politik PDIP sebagai inisiator RUU HIP.
Kemungkinan besar mereka menduga bakal suskes menyelundupkan menjadi UU mumpung publik lengah karena pandemi.
Sebagai partai penguasa, PDIP tengah berlayar dalam segala kemegahannya dan euforia kemenangan.
Bersama-sama partai pendukung pemerintah mereka berhasil menggolkan berbagai UU kontroversial. Mulai dari UU Minerba sampai UU Kebijakan Stabilitas Keuangan Negara.
PDIP kali ini salah hitung. Tanpa mereka sadari, ambisi menghegemoni tafsir politik Pancasila ternyata membangunkan macan tidur.
Isu bangkitnya kembali PKI membuat dua sekutu lama –kalangan umat beragama dan TNI– kembali bersatu.
Mata publik kini juga menjadi lebih terbuka, siapa mereka sesungguhnya dan apa agendanya?
Semakin lama, pendulum politiknya semakin bergerak terlalu ke kiri.