RUU HIP Menguatkan Musuh Agama?
Kegaduhan RUU HIP masih terus bergulir bak bola salju. Penolakan mayoritas rakyat Indonesia, terutama umat muslim, ditanggapi dingin oleh pemerintah. Pernyataan sikap para ulama yang menolak RUU HIP hanya dijawab dengan penundaan pembahasan oleh penguasa. Bukan membatalkan.
Bahkan ada wacana mengubah nama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Wacana ini datang dari pengusung RUU HIP yang saat ini kebakaran jenggot gegara bendera partainya dibakar pada aksi penolakan RUU HIP.
Fraksi PDIP tak mengaku sebagai pengusung RUU HIP yang isinya mengubah Pancasila. Namun Hasto Karyo sebagai Ketua Umum PDIP mengakui bahwa partainya mengusulkan RUU HIP (cnnindonesia, 29/06/2020). Sebelumnya, Hasto menyetujui TAP MPRS No. 25 tahun 1965 tentang larangan PKI dan ajaran komunis dimasukkan sebagai landasan hukum RUU HIP. Ia juga menyetujui dihapusnya pasal kontroversi yang memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila.
Sekarang, mereka ingin mengembalikan RUU HIP sebagai penguat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Apa-apalah yang mereka wacanakan, mereka usulkan, umat muslim tetap satu pendirian untuk menolak RUU HIP atau PIP. MUI sudah mengeluarkan maklumat untuk rakyat bergerak turun ke jalan jika pemerintah dalam hal ini DPR terus membahas bahkan mengesahkan RUU yang mubazir ini. Dikatakan mubazir karena tak ada yang perlu dibahas lagi dari Pancasila.
Jika keinginan PDIP bahwa RUU HIP diperuntukkan sebagai penguat BPIP, jelas rakyat pun tak bisa menerima. Pertama, BPIP hanya membuang-buang uang negara. Para anggotanya bergaji besar hingga ratusan juta rupiah, sementara kerjanya tak kelihatan.
Yang paling ngenes, BPIP mengadakan konser amal di tengah pandemi. Konser yang banyak menuai protes tersebut menghamburkan dana hingga 6,7 miliar. Andai dana tersebut digunakan untuk biaya rapid tes, atau membayar insentif para tenaga kesehatan, tentu jelas kebermanfaatannya. Selain itu, konser berlangsung tanpa protokol kesehatan. Rakyat disuruh menaati protokol kesehatan, mereka justru tidak mencontohkannya. Sungguh tidak mencerminkan sikap seorang Pancasilais.
Kedua, Kepala BPIP pernah menyatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Pernyataan yang bernada tendensius itu telah membuat geger semua elemen masyarakat, tepat setengah bulan sebelum Corona menggegerkan negeri.
Simak pernyataan Yudian Wahyudi pada acara blak-blakan detik.com. “Belakangan juga ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Mereka antara lain membuat Ijtima Ulama.” (detik.com, 12/02/2020). Pada acara itu pula Yudian menyatakan agama sebagai musuh terbesar Pancasila.
Sangat terang benderang, agama apa yang dimaksud oleh Yudian. Frase Ijtima’ Ulama identik dengan Islam. Jadi, secara tidak langsung, kepala BPIP telah mempertentangkan Islam dengan Pancasila. Yudian bukanlah orang pertama yang membenturkan Islam dengan Pancasila. Dalam laman law-justice.co (16/02/2020), berdasarkan keterangan dari Jenderal A.H. Nasution, PKI selalu berupaya membenturkan Islam dengan Pancasila.
Seakan tak mau kalah, Hasto meminta khilafahisme juga dilarang sebagaimana paham komunis (detik.com, 15/06/2020). Meskipun imbuhan “isme” dalam kata Khilafah itu tidak tepat, tapi kita menjadi paham siapa yang dimusuhi oleh mereka yang mengaku paling Pancasila.
Jika demikian faktanya, maka keberadaan RUU HIP akan menguatkan musuh agama. Padahal, Islam sebagai diin yang sempurna, telah mendapat garansi kerahmatan serta keberkahan dari Allah Swt. Tidak hanya bagi pemeluknya namun juga untuk semesta alam.
Semangat jihad dari para ulama dan santri yang digelorakan kepada seluruh rakyat Indonesia, telah mampu mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Semestinya kita mempelajari Islam secara kaffah, mendakwahkan hingga menerapkannya agar bisa merealisasikan janji Allah Swt. Bukan malah mempertentangkannya dengan Pancasila, apalagi mengokohkan pertentangan itu dalam sebuah UU Haluan Ideologi Pancasila. Wallahu a’lam []
Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
(Praktisi Pendidikan)