Kisruh Program Organisasi Penggerak, Bancakan Para Konglomerat?
Dunia pendidikan kembali kisruh, pasalnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menetapkan sebanyak 156 organisasi masyarakat (ormas) yang bergerak di bidang pendidikan untuk mengikuti Program Organisasi Penggerak (POP) menuai kontra. Program yang menganggarkan dana hingga Rp567 miliar dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dalam seleksi evaluasinya dinilai tidak transparan dan tidak tepat sasaran.
Sebagaimana diberitakan pada hari Kamis, masyarakat memprotes lolosnya sejumlah yayasan besar seperti Sampoerna dan Tanoto Foundation yang semestinya tak perlu lagi mendapat dana pemerintah. Selain itu, protes digulirkan atas masuknya berbagai organisasi yang tak diketahui persis rekam jejaknya. Atas dasar inilah, sejumlah organisasi masyarakat menyatakan mundur dari keikutsertaan POP. Usai Muhammadiyah-PBNU mundur, PGRI pun menyusul mundur dari Organisasi Penggerak. Mereka menilai banyak kejanggalan dalam program ini (detikNews, 24/07/2020).
Menanggapi kritik yang ditujukan kepadanya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyampaikan akan melakukan evaluasi terhadap POP yang diluncurkan Kemendikbud. Dalam konferensi pers, Nadiem menjelaskan bahwa evaluasi akan berlangsung hingga empat pekan. Evaluasi ini tidak hanya dilakukan oleh internal kemendikbud, namun akan melibatkan pihak eksternal, salah satunya KPK (KOMPAS.TV 25/07/2020).
POP program Tambal Sulam
Terang saja, program yang digagas Mendikbud Nadiem ini menuai protes. Sebab program ini diluncurkan di tengah pandemi yang tidak sedikit membutuhkan dana. Tentunya hal ini dinilai tidak tepat sasaran dan rawan pemborosan karena menganggarkan Rp567 miliar. Meski dua yayasan besar ini membantah, bahwa pihaknya bukan merupakan organisasi CSR dari PT HM Sampoerna Tbk. Tetap saja, kebijakan hibah dana negara oleh Kemendiknas adalah suatu kekeliruan.
Pemerintah selama ini getol berencana memotong tunjangan guru dan mengalihkan untuk dana penanganan Covid-19. Padahal, kebutuhan dana untuk pendidikan saja belum tercukupi dengan baik. Secara institusional, dunia pendidikan Indonesia masih membutuhkan banyak pengembangan sarana dan prasarana. Maka, bila pemerintah merasa berkepentingan untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan, seharusnya program POP dihentikan dan anggaran dananya dialihkan kesana.
Berbicara kematangan program, maka program POP terkesan buru-buru dan dipaksakan. Sebab Kemendikbud tidak pernah transparan terkait kriteria-kriteria pemilihan mitra kerja POP yang ditetapkan. Apalagi lolosnya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation, dua yayasan dari dua perusahaan raksasa besar masuk dalam kategori Gajah yang bisa mendapatkan hibah hingga Rp20 miliar per tahun. Tidak ada pembedaan antara ormas besar yang telah terbukti rekam jejaknya dalam pendidikan dengan organisasi yang baru terjun dalam dunia pendidikan. Padahal dua perusahaan CSR tersebut harusnya membantu pemerintah mendanai pendidikan.
Sejauh ini, permasalahan pendidikan yang krusial adalah terhambatnya proses pembelajaran akibat pandemi. masih dialami banyak siswa, mulai kendala tidak memiliki gawai pintar (smartphone) secara pribadi dan tidak ada akses internet, bahkan belum teraliri listrik. Untuk mengantisipasi hal ini, akhirnya guru berkunjung ke rumah siswa atau luring. Namun setelah dievaluasi, metode ini tidak efektif, sebab jumlah guru tak memadai jika harus melayani semua siswa satu persatu.
Inilah, salah satu contoh nyata problem dunia pendidikan. Meski Kemendikbud sendiri mengakui hal ini, pada realitasnya tidak pernah terdengar solusi kebijakan extraordinary. Malah justru membuat program yang sifatnya hanya tambal sulam. Bila ditelisik mendalam, program POP juga meloloskan sejumlah beberapa organisasi yang tidak kredibel. Bagaimana mungkin mau meningkatkan kualitas guru, sementara rekam jejak lembaga tak kredibel ini tidak ada. Alih-alih membuat maju pendidikan malah tak akan memberi manfaat apapun bagi pendidikan, bahkan menambah suram dunia pendidikan. Bahkan program ini rentan disalahgunakan terutama menyangkut penggunaan anggaran negara. Dengan demikian bisa dikatakan POP bukan program untuk kemajuan pendidikan tetapi bancakan untuk para konglomerat.
Jadi, selama pendidikan dijadikan ladang bisnis dan sistem pendidikan negeri berbasis sekuler kapitalis, maka segala permasalahan terkait pendidikan khususnya peningkatan kualitas guru akan sulit diatasi.
Soalan lainnya, tidak dipungkiri sistem kapitalis telah mencetak guru berpandangan kapitalistik. Sebagian besar mereka mengajar lebih didorong oleh kepentingan ekonomi ketimbang moral mendidik. Tidak banyak guru yang mau digaji dengan murah, apalagi tinggal dan hidup di masyarakat yang jauh dari hingar bingar kemajuan. Maka problem rendahnya kualitas guru juga erat kaitannya dengan pandangan hidup para guru dan masyarakat umumnya.
Di sisi lain, para guru ini juga menjadi korban keganasan sistem kapitalis yang telah memiskinkan Negara. Akibatnya, himpitan ekonomi dialami semua warga negara, termasuk para guru. Guru pun menggadaikan idealisme mendidik dengan sejumlah materi untuk menutupi kesulitannya itu. Demikianlah, problem kekurangan guru ini hakikatnya adalah problem sistemik.
Islam Memberikan Solusi
Problem yang menimpa guru sebenarnya tidak terlepas dari akar permasalahanya. Sistem kapitalis tidak menempatkan guru sebagai sosok pendidik yang dimuliakan. Berbeda dengan Islam, seorang guru haruslah dibina dengan sistem Islam, ketika Islam menjadi pandangan hidupnya, maka ia akan mengabdikan dirinya untuk mendidik siswa dalam ketaatan.
Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan primer, hak setiap warga negara. Sehingga, untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas adalah menjadi tanggung jawab negara. Segala hal yang berkaitan dengan pendidikan, baik kurikulum, pengadaan guru hingga pengadaan sekolah diatur sesuai Islam. Perhatian negara terhadap guru pun begitu besar. Sistem ekonomi yang tangguh mengantarkan negara memilki anggaran cukup besar bagi pendidikan.
Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Alwadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas atau sekitar 31 juta rupiah dengan kurs sekarang).
Sistem Institusi Islam juga menjaga atmosfer keimanan di masyarakat. Siapapun akan menghargai Profesi guru. Para guru menyadari betul tugasnya bukanlah sekadar transfer imu, melainkan ada kewajiban untuk membentuk kepribadian Islam pada anak didiknya. Bahkan guru tidak mempersoalkan di mana pun mereka harus mendidik, karena yang dikehendaki adalah kebaikan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dengan demikian, bila negeri ini merubah format pendidikan kapitalis dengan Islam dan berpijak pada sistem politik Islam. Maka segala problema pendidikan khususnya masalah peningkatan kualitas guru bisa teratasi dan hak pendidikan rakyat yang bermutu dan berkualitas akan terjamin. Wallahu ‘alam
Ummu Nafra
(Pengusaha dan Pegiat Literasi Rindu Islam)