Standar Ganda Hukum ala Negeri Dilan
Video seorang remaja berkacamata yang menghina dengan disertai ancaman kepada Presiden Jokowi tengah viral di linimasa.
Dalam video yang diunggah melalui akun Facebook Eris Riswandi, tampak seorang pemuda berkamacata sambil bertelanjang dada mengeluarkan kata-kata kasar bernada ancaman pembunuhan dengan cara bakal menembak Presiden Jokowi di bagian kepala.
“Gua tembak kepalanya. Gua pasung kepalanya. Liat nih. Ini kacung gua nih. Dia kacung gua. Gua pasung kepalanya. Liat mukanya tuh. Jokowi gila. Gua bakar rumahnya. Presiden, gua tantang lu, cari gua 24 jam, lu ngga nemuin gue, gue yang menang. Salam Jordani,” kata pemuda tersebut sembari memegang bingkai foto Presiden Jokowi sambil menunjuk-nunjuk wajahnya (kriminologi.id, 23/5/2018).
Menurut polisi video tersebut dibuat sekitar tiga bulan yang lalu oleh remaja yang kemudian diketahui berinisial S (16) dan teman-temannya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono angkat bicara menanggapi viralnya video S. Dia mengatakan video yang dibuat oleh S bersama teman-temannya untuk dijadikan bahan candaan. S juga ingin mengetes kemampuan polisi untuk menangkapnya.
“Ini merupakan kenakalan remaja. Kenapa? Ya karena pada saat dia berkumpul dengan temannya dia mengatakan, ‘Kamu berani nggak kamu? Nanti kalau berani, kamu bisa nggak ditangkap polisi.’ Jadi mengetes ini berdua, mengetes polisi. Kira-kira polisi mampu tidak menangkap dia. Jadi anak-anak ini bercanda, lucu-lucuan,” papar Argo (detik.com, 24/5/2018).
Walau saat ini remaja penghina Jokowi tersebut masih berada di Polda Metro Jaya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Menurut Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto, S bisa saja tak ditahan. Tapi, hal itu jika hukuman pidananya hanya di bawah lima tahun saja.
“Ya jadi kan memang ada undang-undang perlindungan anak kita tidak akan melaksanakan penahanan, ancaman hukuman, kecuali ancaman hukuman di atas 5 tahun bisa ditahan,” kata Ari Dono di Kantor Bareskrim Polri.
Saat ditanyakan apakah pihaknya akan tetap melakukan proses hukum terhadap pria 16 tahun itu. Dirinya pun hanya irit bicara. “Lihat nanti,” ujar dia (liputan6.com, 25/5/2018).
Terkesan “lunak” itulah sikap aparat berwenang dalam meyikapi kasus penghinaan presiden yang dilakukan oleh S. Berbeda perlakukan terhadap Muhammad Farhan Balatif(18) yang langsung ditangkap polisi karena diduga menghina Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian melalui Facebook.
Berbeda dengan S, Farhan melakukan penghinaan terhadap pimpinan negara dan Polri dilatarbelakangi kekesalannya atas kebijakan pemerintah, mulai dari masalah kenaikan harga pangan, tingginya angka pengangguran, hingga impor bahan pangan dari luar negeri. Kekesalan yang ditumpahkan lewat kritik di media sosial berujung pada penangkapan atas kasus penghinaan.
Sama seperti kasus Asma Dewi, niat awal ingin mengkritisi justru malah dibui selama 2 tahun. Begitu juga dengan Farhan yang divonis divonis 1,5 tahun penjara dalam sidang vonis di Pengadilan Negeri Medan (kompas.com, 16/1/2018).
Beda perlakuan aparat berwenang terhadap S, menimbulkan sikap pesimis publik terhadap pengusutan kasus S. Hal ini disoroti oleh politisi Demokrat, Andi Arief, dalam akun Twitternya pada Kamis (24/5/2018), @AndiArief menulis:
“Saya sudah duga akan ada perlakuan berbeda dari polisi terhadap anak muda yang memaki Jokowi. Menurut istilah namanya segregasi. Segregasi adalah pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa. Segregasi merupakan bentuk pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial.”
Apatah lagi dikutip dari tribunnews.com, 24/5/2018, banyak kabar menyebutkan S adalah putra seorang konglomerat yang sangat tajir. Seperti yang dicuitkan akun Twitter @Hulk-idn pada Rabu, 23/5/2018.
Beginilah gambaran nyata hukum ala demokrasi. Ibarat mata pisau yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Tajam kepada rakyat biasa, tapi tumpul kepada rakyat yang memiliki kuasa baik uang mau pun jabatan.
Tajam pula kepada para ulama dan aktivis Islam yang vokal mengkritisi kebijakan rezim yang merugikan rakyat. Tapi tumpul kepada para penista dan penghina ulama, ummat dan ajaran Islam.
Demokrasi yang diagung-agungkan ternyata berbuah ketidakadilan dan deskriminasi terhadap rakyat bawah. Hukum timpang sebelah dan seperti dagelan jika berhadapan dengan para konglomerat yang pro rezim dan kroninya.
Walau pun telah jelas dan terbukti nyata terjadi penghinaan terhadap presiden selaku kepala negara. Tapi demi melindungi eksistensi demokrasi dan kepentingan para konglomerat, kehormatan seorang kepala negara selevel presiden diabaikan bahkan ngeles hanya lucu-lucuan ala remaja labil nan alay.
Sementara ketika rakyat biasa, ulama dan aktivis Islam melakukan kritik terhadap rezim. Kebebasan mengeluarkan pendapat langsung dibungkam dengan dalih ujaran kebencian. Padahal hanya sebatas kritik belum jatuh pada penghinaan.
Inilah fakta yang terpampang nyata buah dari diterapkannya sistem buatan manusia yang lemah dan cacat. Bukan keadilan yang didapat tapi ketidakadilan dan ketimpangan di hadapan hukum.
Maka, patutlah hadist berikut menjadi pengingat kita, akan keagungan Islam yang menjunjung tinggi keadilan. Sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam: “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”. Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu.
Ya, begitulah seharusnya keadilan ditegakkan tanpa memandang agama, ras, suku dan etnis. Entah rakyat biasa atau pun konglomerat akan mendapatkan perlakuan sama di hadapan hukum jikalau aturan Islam diterapkan secara kaaffah. Kemaslahatan akan diraih, kebaikan akan dipetik dan keadilan akan ditegakkan.
Maka, wahai penguasa dan aparat, buktikanlah jikalau memang demokrasi membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Jika tidak, maka bersikaplah adil karena adil mendekatkanmu kepada takwa. Dan ingatlah bahwa Allah Ta’ala telah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu…” (TQS. an-Nisa ayat 135).
Tapi jika keadilan tetap tak didapat bagi rakyat biasa pada umumnya dan bagi Islam dan ummatnya pada khususnya. Maka kita ucapkan selamat datang standar ganda hukum ala negeri Dilan.
Wallahu’alam bishshawwab.
Ummu Naflah
Penulis Bela Islam, Member Akademi Menulis Kreatif