Basa-basi Demokrasi Now
Sudah kita ketahui bersama negeri ini menganut paham demokrasi sebagai salah satu pilar pemerintahannya. Pilar demokrasi berdasar konsep rule of law menurut A.V. Dicey, yaitu tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang, kedudukan yang sama dalam hukum, terjaminnya hak-hak manusia dan undang-undang. Diantara pilar yang menonjol dalam demokrasi adalah kebebasan dan hukum yang berkeadilan. Nampaknya demokrasi di masa pemerintahan Jokowi memang sedang diuji. Sudahkan pemerintahan sekarang menerapkan demokrasi sesuai pilar-pilarnya?
Fakta yang terjadi justru berkebalikan dari teori aslinya. Hal yang paling menonjol bisa kita lihat dari prinsip kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat. Pemerintah saat ini menjelma menjadi rezim anti kritik. Ketika rakyat memberikan kritik yang tajam terhadap kebijakan dzalim, disebut sebagai ujaran kebencian. Sebutlah Asma Dewi, Ust Alfian Tanjung, Ahmad Dhani, Rini Sulistiowati, dan lainnya, mereka menjadi korban tuduhan ujaran kebencian dan pelanggaran UU ITE. Tak cukup disitu, korban berikutnya adalah kalangan akademisi diantaranya Prof Suteki dan Prof Daniel M.Rosyid. Mereka dituduh anti pancasila dan melanggar kode etik ASN karena diduga menjadi pendukung HTI yang menyebarkan ide Khilafah yang dianggap anti pancasila dan anti NKRI. Sikap kritis mereka kerap dilakukan baik melalui tulisan di media nasional maupun di akun sosial media. Kekritisan ini dibungkam dengan tuduhan menurut penafsiran penguasa.
Masih segar di ingatan pembubaran ormas islam kritis yang lantang menyampaikan kritik dan koreksi atas kebijakan penguasa dibungkam dengan keluarnya Perppu Ormas yang kemudian disahkan menjadi UU Ormas. Lagi-lagi demokrasi tak menunjukkan kelayakan dalam hal kebebasan berserikat. Kekuasaan disalahgunakan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok yang tak disukai penguasa.
Maka tak heran jika banyak pihak yang menganggap bahwa penguasa saat ini adalah rezim anti kritik. Inikah wajah demokrasi yang begitu menjunjung kebebasan berpendapat? Pilar yang lain yaitu hukum berkeadilan juga berkebalikan dengan teorinya. Faktanya, hukum saat ini tak lebih sebagai alat kekuasaan bukan alat negara. Masih kita soroti viralnya video bocah sipit yang memaki, mengancam, dan menghina presiden ditanggapi dengan enteng oleh pihak kepolisian. Mereka bilang video bocah tersebut hanya untuk ngetes polisi dan sekedar lucu-lucuan. Sungguh menggelikan. Coba bandingkan, dengan Asma Dewi yang berkata ‘koplak’ kepada penguasa saja sudah diganjar bui selama dua tahun. Sangat berbeda jauh.
Demokrasi yang berjalan sekarang memang jauh dari kelayakan. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya khayalan. Faktanya rakyat selalu menjadi korban ketidakadilan. Ketika rakyat tak menginginkan kenaikan BBM, malah dinaikkan. Saat mayoritas rakyat tak menghendaki kenaikan tarif dasar listrik, malah naik diam-diam. Kala rakyat menuntut kesejahteraan hidup, yang sejahtera malah pemilik modal (kapital). Ketika rakyat menaruh harapan kepada pemimpin pilihan, malah berkhianat di balik kekuasaan. Kalaulah pemerintah itu dari, oleh, dan untuk rakyat, kebijakan yang diambil pasti memihak rakyat, tapi faktanya justru memihak kepentingan asing.
Demokrasi hanya indah pada teorinya, namun amburadul pada penerapannya. Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya ‘Politics’, Aristoteles menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Selain Aristoteles, Plato (472-347 SM) juga melontarkan kritik tajam. Plato justru menekankan bahwa liberalisasi itulah yang menjadi akar Demokrasi sesungguhnya, sekaligus biang petaka mengapa Negara demokrasi akan gagal selama-lamanya.
Bila dikatakan Indonesia adalah role model negara paling demokratis, mungkin hanya terlihat pada keberlangsungan pemilu yang berjalan tertib dan aman. Namun, ada banyak cacat dalam pilar-pilar demokrasi yang lain yang membuatnya tidak layak dipertahankan. Sejatinya, tak ada negara yang benar-benar ideal menganut demokrasi. Sebab, demokrasi sendiri sudah cacat sejak kelahirannya. Masih berharap pada demokrasi yang penuh ketidakpastian ini? Produk pemikiran manusia selalu memiliki cacat bawaan karena keterbatasan manusia itu sendiri. Terlalu naif bila kita tak mau mengakui bahwa sistem aturan dari pembuat manusialah yang paling pas untuk diterapkan, yaitu sistem yang bersumber dari Allah Swt. Hal itu dibuktikan dengan penerapan Islam selama 13 abad memimpin peradaban dunia.
Chusnatul Jannah
(Lingkar Studi Perempuan Peradaban)