UU Ciptaker Belum Tentu jadi Obat Resesi Ekonomi
Pengesahan RUU Cipta Kerja, atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law Cipta Kerja, Senin, 5 Oktober 2020, memang pantas jadi kontroversi. Meski telah diprotes banyak kalangan, terutama kaum buruh, pembahasan dan kemudian pengesahan RUU itu jalan terus dan dilakukan dengan secepat kilat. Apakah undang-undang kontroversial ini bisa menjadi obat bagi resesi ekonomi, ketika investasi di mana-mana juga sedang ambruk.
Meskipun semangatnya baik, sejak awal saya pribadi selalu berpandangan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak tepat-waktu dan tidak tepat-sasaran. Disebut tidak tepat waktu karena saat ini kita sedang berada di tengah-tengah pandemi. Prioritas utama mestinya isu kesehatan dan kemanusiaan seperti dinyatakan Presiden sendiri.
Tingkat kematian dokter kita saat ini tertinggi di Asia. Setidaknya ada 130 dokter, menurut IDI, meninggal akibat menangani Covid-19 sejauh ini. Angka-angka ini tentu saja tak bisa disepelekan. Sebab, untuk menampung pasien, jumlah kamar di rumah sakit bisa ditambah dalam sekejap, tapi tak demikian halnya dengan tenaga kesehatan yang menangani. Begitu juga dengan tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia, berada di atas rata-rata dunia. Artinya, ada hal lain yang jauh lebih serius untuk ditangani dibanding omnibus law.
Omnibus law ini juga tidak tepat sasaran, sebab kalau tujuannya adalah untuk mendatangkan investasi, apa yang jadi hambatan investasi dengan apa yang dirancang oleh omnibus law ini sama sekali tak sinkron. Memang yang disorot adalah perizinan dan aturan yang tumpang tindih.
Menurut World Economic Forum (WEF), kendala utama investasi di Indonesia adalah korupsi, inefisiensi birokrasi, ketidakstabilan kebijakan, serta regulasi perpajakan. Tapi yang disasar omnibus law kok isu ketenagakerjaan? Bagaimana ceritanya? Jadi, antara diagnosa dengan resepnya sejak awal sudah tak nyambung.
Saya bisa memahami kenapa saat ini masyarakat banyak yang gelisah dan marah terhadap omnibus law. Karena mereka melihat kalau kepentingan dan suara mereka sama sekali kurang diperhatikan. Kaum buruh, yang saat ini berada dalam posisi sulit akibat Covid-19, posisinya jadi kian terpojok.
Dalam catatan saya, ada beberapa isu yang memang mengusik rasa keadilan buruh. Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah. Kemudian, penghapusan UMK (Upah Minimum Kabupaten) menjadi UMP (Upah Minimum Provinsi). Padahal, menurut data lapangan, besaran UMP ini pada umumnya adalah di bawah UMK. Sehingga, alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, omnibus law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama 5 hari dalam seminggu, kini tak ada lagi. Sehingga, secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum.
Di sisi lain, saya juga melihat omnibus law ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Ada beberapa alasannya.