Radikalisme dan Terorisme Lahirkan Islamofobia
Opini tentang Islam radikal yang mengajarkan terorisme terus digaungkan. Publik digiring untuk menjadikan isu Islam radikal sebagai hal yang sangat berbahaya dan harus menjadi musuh bersama. Beragam dimensi Islam yang dituding ekstrem secara masif diserang.
Para tokoh dan pendakwah Islam pun tak luput dari serangan opini ini. Pasca rangkaian peristiwa teror disusul santernya media mengulas terorisme hingga disahkannya RUU terorisme, para ustaz dan ulama kini terbelah akibat adanya mubaligh versi rekomendasi menag dan yang bukan. Tentu dikhotomi ini telah membelah umat dan mengarahkan opini bahwa mubaligh yang “direstui” pemerintah adalah yang legal, sejalan dengan visi misi pemerintah dan bersih dari muatan radikal.
Tak sampai disitu, kampus pun kini juga disorot terkait isu radikalisme dan terorisme. Tuduhan BNPT yang menyatakan bahwa fakultas kedokteran dan eksakta di tujuh PTN terpapar radikalisme cukup menjadi bukti bahwa kini pemerintah sedang berupaya serius untuk mensterilisasi kampus dari aktivitas pengkaderan aktivis dakwah yang dalam pandangan pemerintah mereka ini adalah para pengusung ide Islam radikal dan menjadi cikal bakal tumbuhnya radikalisme-terorisme di kemudian hari. Belum lama ini, Guru Besar Universitas Diponegoro Prof. Dr. Suteki menghadapi sidang etik karena diduga melanggar etika. Padahal sejatinya beliau hanya memperjuangkan keadilan sesuai pandangan objektif beliau sebagai akademisi di bidang keahliannya.
Di lingkup pendidikan menengah pun setali tiga uang kondisinya. Sudah sejak lama upaya mengait-kaitkan lembaga kerohanian Islam dengan berkembangnya ide radikalisme. Belakangan, dengan gegabah media sempat memberitakan bahwa pelaku pengeboman gereja di Surabaya beberapa waktu yang lalu dulunya adalah para mantan aktivis rohis di salah satu SMAN di Surabaya. Bahkan kini homeschooling juga ikut diseret-seret dan dituduh menjadi ladang semaian benih terorisme yang susah untuk diawasi. Sungguh kesemuanya merupakan fitnah keji terhadap berbagai sendi-sendi strategis pembangun sebuah peradaban mulia. Berbagai tuduhan keji seputar radikal dan terorisme yang menyasar dakwah Islam, kelompok Islam, aktivis Muslim, lembaga dan ormas Islam, ajaran Islam bahkan tak tanggung-tanggung menjadikan kitab suci agama Islam sebagai salah satu bukti dalam kasus dugaan terorisme sungguh merupakan bukti nyata bagaimana rezim kini alergi jika tidak mau dikatakan anti terhadap Islam.
Lebih dari itu pemerintah melalui berbagai perangkatnya semisal BNPT, BIN, Densus, Menkopolhukam, Menristekdikti seolah kompak dalam membentuk opini bahwa paham radikalisme yang menjadi bibit terorisme merupakan ancaman serius bagi bangsa, sehingga harus diberantas dari akar-akarnya. Penyebaran idenya harus diawasi dengan ketat, ceramah pun kini dituding menjadi ladang subur ujaran kebencian yang menumbuhkan bibit radikalisme. Para pengusungnya dipersekusi sedemikian rupa, lembaga yang dianggap terpapar seperti PTN, Ponpes bahkan homeschooling pun harus diawasi aktivitasnya. Berbagai hal terkait denagan Islam bahkan yang merupakan pilar-pilar yang menjadi pengokoh peradaban diputarbalikkan, dituduh sebagai biang kejahatan yang mereka labeli dengan “extra ordinary crime”. Serangkaian peristiwa yang disebut aksi teror belakangan telah dijadikan oleh pemerintah sebagai momen untuk mengelurkan “senjata” guna menyerang Islam dan ajarannya. Bahkan kini isu radikalisme dan terorisme tidak lagi fokus dengan penanggulangan aksi terornya semata. Yang terlihat menonjol adalah upaya pembatasan terhadap ajaran dan aktivis Islam agar tidak berseberangan dengan kepentingan penguasa.
Jika dicermati lebih jauh, isu radikalisme dan terorisme hanya dimanfaatkan untuk menjatuhkan Islam terutama dalam dimensi Islam politik serta memiliki tujuan untuk menimbulkan ketakutan bahkan kebencian terhadap Islam atau dengan sebutan lain: Islamophobia. Islamophobia ini pada gilirannya akan membawa pada beberapa akibat antara lain: Pertama, adanya citra negatif pada ajaran Islam akan menjadikan masyarakat semakin sekuler. Masyarakat akan dijauhkan dari gambaran Islam sebagai solusi kehidupan karena dipandang sebagai agama yang hanya mengatur masalah ritual semata minus konsep Islam sebagai pandangan kehidupan sebagai solusi dalam seluruh bidang kehidupan termasuk dalam konteks politik, ekonomi, sosial, bahkan ketahanan dan keamanan.
Kedua, Islamophobia digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memberikan stigma negatif kepada para aktivis, tokoh Islam baik ustadz maupun mubaligh dan siapapun yang mendukung gagasan Islam politik sebagai pihak ekstrem dan radikal yang harus diawasi, dijauhi dan dilakukan upaya deradikalisasi. Adanya kriminalisasi terhadap siapapun yang kritis terhadap penguasa beberapa tahun terakhir khususnya dikalangan tokoh Muslim semakin menunjukkan kesewenang-wenangan penguasa terhadap siapapun yang berseberangan dengan kepentingannya. Terlebih pasca disahkannya UU terorisme, seolah kini penguasa mendapatkan kewenangan lebih luas dengan dalih melakukan upaya pencegahan terorisme.
Ketiga, Islamophobia akan memecah belah umat. Seiring dengan pencitraburukan kelompok Islam puritan yang di cap radikal oleh penguasa, digulirkanlah Islam moderat atau Islam wasathiyah. Kelompok yang terakhir disebutkan ini merupakan antitesa terhadap Islam radikal. Kelompok Islam moderat ini adalah seperti apa yang digambarkan oleh barat dengan ciri hanya menekankan sisi ritual, humanis, demokratis, toleran dan adaptif dengan berbagai perkembangan budaya modern. Tentu hal ini akan mengantarkan pada perpecahan umat yang akan memperlemah kaum Muslimin.
Keempat, Islamophobia ini telah menutup pandangan bahwa probem dasar bangsa ini bukanlah Islam tapi justru paham yang bertentangan dengannya yaitu paham sekularisme dan hegemoni sistem kapitalisme. Berbagai bukti kerusakannya sudah tampak jelas di tengah kehidupan masyarakat, bukan hanya di Insdonesia tapi seluruh dunia. Bahaya yang lebih besar adalah ketika Islamophobia ini berhasil menjauhkan kaum Muslimin dari ajarannya. Ajaran Islam yang bergitu sempurna, paket komplit yang digaransi kesempurnaannya oleh Allah. Justru bangsa inilah yang akan merugi jika Islam djauhkan dari kehidupan karena sama saja menjauhkan solusi hakiki berbagai masalah alih-alih menyelesaikan masalah.
Walhasil, Islamophobia harus dilawan dengan proses penyadaran yang lebih gencar dengan dakwah memahamkan masyarakat akan kesempurnaan dan kekomprehensifan Islam. Berbagai stigma negatif yang melekat pada ajaran Islam khususnya yang dilakukan secara sistematis oleh penguasa harus dibongkar. Sekaligus menguliti kerusakan dan bahaya sistem sekuler kapitalisme sebagai dalang di balik berbagai persoalan. []
dr. Alik Munfaidah
Aktivis Dakwah, tinggal di Depok, Jawa Barat