Lonjakan Covid-19, Bukan Soal Salah Input Data
Setelah Jateng, kini Papua menjadi pemecah rekor penambahan positif Covid-19. Secara mengejutkan, kasus baru Covid-19 di Papua meledak hingga bertambah 1.755 orang. Dengan jumlah tersebut, pasien Covid-19 di Papua bertambah sekitar 17% dalam sehari menjadi 11.879 orang. Per 03 Desember, Papua memimpin pertambahan kasus di Indonesia. Mengalahkan Jawa Barat, DKI Jakarta dan Jawa Tengah. (cnbcindonesia.com, 03/12/20)
Semula wabah yang hanya bermuara di sekitaran Ibu Kota, kini sudah menyebar ke 507 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Bahkan akhir-akhir ini, pertambahan kasus baru di Indonesia cukup merata. Beberapa daerah yang sebelumnya tercatat sebagai daerah yang cukup rendah penyebarannya, ternyata mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Bahkan sebanyak 69.027 orang masih dipantau karena berstatus suspek Covid-19.
Menanggapi penambahan secara drastis tersebut, Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan hal ini disebabkan karena sistem yang belum optimal untuk mengakomodasi pencatatan, pelaporan, dan validasi data dari berbagai provinsi secara realtime. Hal inilah yang menyebabkan angka yang masuk ke data Kemenkes merupakan akumulasi dari beberapa hari sebelumnya. (voi.id, 03/12/20)
Ketidakvalidan data, kasus Covid-19 kian meningkat dan berbagai implikasi lainnya dari penanganan pandemi ini, kian mengukuhkan bahwasanya rezim gagal menuntaskan pandemi Covid-19. Bukan melandai, justru kasus positif meningkat tajam. Tak aneh sengkarut Covid-19 kian semrawut. Sebab, sejak awal pun penanganan sudah salah arah. Ketidaksigapan pemerintah menerapkan 3T berimplikasi pada meluasnya jumlah kasus Covid-19. Padahal pemisahan antara yang sakit dan yang sehat dengan secepat mungkin akan memudahkan pemutusan rantai Covid-19 di Indonesia.
PSBB pun diterapkan. Namun rupanya dari sisi ekonomi pemerintah tak siap, hingga New Normal pun diberlakukan. Arena publik tempat berkerumunnya orang pun mulai dibuka. Ketidakdisiplinan masyarakat akan protokol kesehatan, didukung minimnya edukasi dari pemerintah terkait semakin melejitkan penambahan kasus positif Covid-19. Alhasil, bak bola salju, kian berjalannya waktu kian besar.
Pemerintah harusnya segera menata kebijakan. Bukan lagi sibuk membangun pencitraan. Fokus dalam penanganan, bukan lagi saling sikut berebut kekuasaan. Sementara di luaran sana, jutaan rakyat berduka kehilangan sanak saudara karena terjangkit wabah. Seolah, rakyat pun tengah menunggu kapan giliran takdir mereka.
Rasanya nyawa begitu murah. Perlindungan begitu minim. Orientasi kebijakan bukan soal keselamatan rakyat, melainkan hitung-hitungan materi dengan kalkulasi matematis. Begitulah watak rezim Kapitalis, rezim dikukuhkan berdasarkan untung-rugi. Padahal, pandemi berlarut-larut pun, kerugian justru makin meningkat. Lain halnya, jika pandemi segera dituntaskan dengan tindakan yang tepat dan sigap.
Berharap kepada rezim dalam menangani wabah, bak menabur biji di atas batu. Padahal dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab penuh atas kehidupan rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Negara dalam pandangan Islam, ia harus melaksanakan fungsi dasarnya sesuai petunjuk Maqashid Syari’ah. Yakni (1) Hifdzun ad-diin (menjaga agama); (2) Hifdzun an-nafs (menjaga jiwa); (3) Hifdzun Aql (menjaga akal); Hifdzun Nasl (menjaga keturunan) dan (5) Hifdzun Maal (menjaga harta). Namun realitas demikian tak akan kita temukan dalam sistem demokrasi – Kapitalisme. Artinya, kita butuh perubahan revolusioner yang akan mengubah peradaban saat ini menjadi peradaban yang lebih manusiawi. Juga peradaban yang begitu takut akan beratnya pertanggungjawaban di yaumul hisab kelak.
Saat ini umat manusia membutuhkan negara yang peduli dengan kehidupan mereka, bukan sekadar berpikir keuntungan materi semata. Yang dibutuhkan umat manusia saat ini adalah seorang khalifah yang memperlakukan penyakit ini sebagai masalah kemanusiaan yang paling penting. Bukan pemimpin yang memandang wabah ini sebagai masalah ekonomi yang berpacu pada angka-angka statistik semata. Wallahu a’lam bisshawab.
Rismayanti Nurjannah