OPINI

Khadavi, Korban Pembunuhan Polisi di KM 50

Mobil yang saya tumpangi melaju ke arah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Matahari telah condong ke barat. Di depan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, mobil berhenti. Sebab, azan maghrib terdengar di beberapa masjid dan mushalla di kawasan tersebut.

Kami menuju mushalla kecil di pekarangan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Melihat ukuran mushalla, dugaan kuat, tidak semua muslim di kantor itu, shalat Zuhur berjamaah. Mungkin, pimpinannya nonmuslim. Kalau pun muslim, nilai Pancasila yang diperoleh ketika kuliah, C. Sebab, sila pertama Pancasila – Ketuhanan Yang Maha Esa- menunjukkan Indonesia negara agama, bukan negara komunis.

Sepertinya Kajari atau pejabat di kantor itu kurang memahami isi UUD ’45. Sebab, hakikat pasal 29 ayat (1) dan (2) mewajibkan umat beragama, khususnya Islam untuk shalat berjamaah di masjid atau mushalla. “Mau jumpa siapa pak,” tegur pegawai kantor itu setelah kami bersama selesai shalat berjamaah. “Cuma mampir untuk shalat maghrib,” jawabku singkat.

Rumah Sederhana di Mulut Gang

Mobil diparkir di tepi jalan Puri Kembangan yang sudah mulai sepi. Kami berlima menyeberang jalan. Sekitar seratus meter, kami menjumpai banyak anak muda berpakaian koko dan ketayap putih. Gang sempit di depan rumah orang tua Khadavi digelar tikar dan karpet. Banyak anak muda duduk sambil berdzikir. Kami berlima dipersilahkan duduk di atas tikar tersebut. Malam itu, 15 Desember 2021, hari ke-40, enam laskar FPI meninggal dunia dibunuh polisi Polda Metro Jaya.

Rumah itu sederhana. Panjangnya mungkin delapan meter. Lebarnya sekitar enam meter. Ruang tamu berukuran kurang lebih dua setengah kali tiga meter. Ruang keluarga sekitar tiga kali tiga setengah meter. Tidak nampak perabot rumah yang mewah. Di atas meja kecil, terpampang foto Khadavi. Wajahnya cerah, ganteng, bercahaya. Masih muda, 21 tahun. Nama lengkapnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Anak pertama dari dua orang bersaudara. September nanti, Khadavi akan wisuda. Ia kuliah di Fakultas Perkapalan, salah satu universitas di Jakarta.

Khadavi Ingin Menegakkan Keadilan

“Khadavi pernah mau pindah ke jurusan hukum,” kata Herman Mulyana, ayah Khadavi. Mantan Satpam di salah satu supermarket di Jakarta ini berperawakan sedang, ramping tubuhnya. Memerhatikan postur dan penampilannya, musykil bagi saya, Herman bisa mendidik anaknya menjadi seorang teroris.

“Mengapa dia ingin pindah jurusan,” tanya saya penasaran. “Dia ingin menegakkan keadilan dan melindungi ulama,” terang Herman. Saya termenung sekejap. “Menegakkan keadilan,” gumam saya.

Sesampai di rumah malam itu, terbayang kawan-kawan di KPK. Ada Penyelidik dan Penyidik yang sengaja ditabrak di jalan sampai cedera. Teror dan intimidasi sudah jamak bagi pegawai Gedung Merah Putih ini. Bahkan, terjadi “perang” di antara cicak dan buaya, sampai beberapa jilid. Beberapa komisioner KPK dikriminalisasi, ditahan, dan diberhentikan secara tidak adil hanya karena mereka membuka borok korupsi yang ada di Indonesia.

Wajah pegawai KPK yang saya tidak bisa lupakan adalah Novel Baswedan. Sewaktu jumpa di Singapura (2018), saya lihat bola mata kanannya menonjol keluar. Mata kiri, hampir tertutup seluruhnya. Novel berada di Singapura untuk operasi mata akibat disirami air raksa oleh dua anggota polisi. Kini, sekalipun sudah melalui operasi dan pengobatan oleh dokter pakar di Singapura, mata Novel tetap tidak pulih sebagaimana sebelumnya. Beliau mengalami cacat mata permanen.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button