Seratus Juta untuk Pengarah Badan Pancasila
Rakyat tersinggung, di tengah kesulitan ekonomi yang merata, Ketua Dewan Pengarah dan Anggota BPIP justru diganjar seratus juta per bulan.
Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Pemimpin, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Perpres Nomor 42/2018 itu diteken Jokowi pada 23 Mei 2018 lalu.
Sebelum bernama BPIP, lembaga ad hoc ini bernama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang lahir berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Ketua, Anggota Dewan Pengarah dan Kepala UKP-PIP dilantik Presiden Jokowi pada Rabu, 7 Juni 2017 lalu di Istana Negara, Jakarta.
Belum genap setahun, UKP-PIP naik pangkat. Lembaga yang dikepalai Yudi Latif ini menjadi BPIP pada 28 Februari 2018 dengan payung hukum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Dan kini, dua bulan setelah menjadi Badan, melalui Perpres Nomor 42/2018 ditetapkan nilai gaji bulanan masing-masing pejabat “penjaga” ideologi Pancasila itu.
Besaran gaji bulanan para pejabat itu, sesuai dengan lampiran Perpres Nomor 42/2018 adalah: Ketua Dewan Pengarah Rp112.548.000; Anggota Dewan Pengarah Rp100.811.000.-; Kepala BPIP Rp76.500.000; Wakil Kepala Rp63.750.000; Deputi Rp51.000.000.-; dan Staf Khusus Rp36.500.000.- Rapelan gaji pejabat BPIP ini menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani akan dibayarkan pada 1 Juni 2018.
Sontak Perpres ini menuai kontroversi publik. Betapa tidak, gaji seorang Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP mencapai Rp112 juta. Angka ini jauh lebih besar dari gaji menteri bahkan presiden-wakil presiden sekalipun. Sesuai UU No 7 Tahun 1978, gaji Presiden ditambah tunjangan hanya Rp62.740.030.0 Sementara Wapres gaji bulanannya hanya Rp42.160.000.-
Klaim Masih Kecil
Menyikapi polemik gaji BPIP ini, Anggota Dewan Pengarah BPIP Mahfud MD mengatakan, sebetulnya gaji pimpinan BPIP hanya lima juta. Dia menyebut, Presiden Jokowi juga sudah menjelaskan bila struktur gaji BPIP paling kecil di antara pimpinan lembaga lain.
Menyangkut yang ribut soal gaji BPIP, Presiden sudah menjelaskan itu hanya soal struktur gaji saja. Karena gaji pokok itu sebenarnya dari BPIP paling kecil, hanya lima juta,” kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini lalu membandingkan gaji pimpinan BPIP dengan Komisaris BUMN maupun Gubernur Bank Indonesia (BI). Dia menyebut, gaji komisaris BUMN sudah mencapai Rp 160 juta. Sementara gaji Gubernur BI mencapai Rp 300 juta.
Empat Cacat Serius
Terbitnya Perpres No. 42/2018 mengenai besaran gaji yang diterima para pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengundang kritikan dari Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.
Menurut Fadli, tidak sepantasnya sebuah lembaga non-struktural seperti BPIP diberi standar gaji mirip BUMN, yang melebihi standar gaji di lembaga-lembaga tinggi kenegaraan.
“Perpres itu menunjukkan betapa borosnya pihak Istana dalam mengelola anggaran, sekaligus membuktikan inkonsistensi mereka terhadap agenda reformasi birokrasi yang selama ini selalu didengung-dengungkan,” ungkap Fadli, Senin (28/05/2018).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menilai pemerintah hanya menghambur hamburkan anggaran untuk sebuah lembaga ad hoc di tengah keprihatinan perekonomian nasional.
Fadli menyarankan, jika memang ada keleluasan anggaran, lebih baik pemerintah menggunakannya untuk meningkatkan kesejahteraan para pegawai honorer di lingkungan pemerintahan saja.
Lebih dari itu, Fadli menilai ada empat cacat serius pada Perpres Nomor 42/2018 itu. Pertama, dari sisi logika manajemen. Di lembaga manapun, baik di pemerintahan maupun swasta, gaji direksi atau eksekutif itu pasti selalu lebih besar daripada gaji komisaris, meskipun komisaris adalah wakil pemegang saham. Beban kerja terbesar memang adanya di direksi atau eksekutif.
“Nah, struktur gaji di BPIP ini menurut saya aneh. Bagaimana bisa gaji ketua dewan pengarahnya lebih besar dari gaji kepala badannya sendiri? Dari mana modelnya?,” Tanya Fadli.
Menurut Fadli, sesuai dengan namanya, Dewan Pengarah seharusnya lebih berupa anggota kehormatan, atau orang-orang yang dipinjam wibawanya saja. Jadi, mereka seharusnya tak punya fungsi eksekutif sama sekali. Aneh sekali jika mereka kemudian digaji lebih besar daripada pejabat eksekutif BPIP.
Cacat kedua dari sisi etika. BPIP, kata Fadli, bukanlah BUMN atau bank sentral yang bisa menghasilkan laba, sehingga gaji pengurusnya pantas dipatok ratusan juta. BPIP adalah lembaga non-struktural, yang pekerjaannya ad hoc.
“Kenapa kok standar gajinya bisa setinggi langit begitu? Coba Anda bayangkan, gaji presiden, wakil presiden, menteri, dan pimpinan lembaga tinggi negara yang tanggung jawabnya lebih besar saja tidak sebesar itu,” ungkap Fadli.
Cacat ketiga, kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu, dari sisi anggaran dan reformasi birokrasi.
Presiden Joko Widodo, sebut Fadli, selalu bicara mengenai pentingnya efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Itu sebabnya, dalam kurun 2014-2017, ada 23 lembaga non struktural (LNS) berupa badan maupun komisi yang telah dibubarkan pemerintah, mulai dari Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Benih Nasional, hingga Badan Pengendalian Bimbingan Massal (Bimas). Tapi, pada saat bersamaan, Presiden justru malah terus menambah lembaga non-struktural baru.
Cacat keempat, dari sisi tata kelembagaan. Kecenderungan Presiden untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian seharusnya distop, karena bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan lembaga-lembaga yang telah ada.
Karena memiliki empat cacat serius itu, Fadli berpendapat seharusnya Perpres No. 42/2018 ditinjau kembali. “Tak ada ruginya Perpres itu dicabut atau direvisi kembali. Perpres itu sudah melukai perasaan masyarakat yang kini sedang dihimpit kesulitan,” pungkas dia.
Guru besar ilmu ekonomi sekaligus peneliti senior INDEF Didik J Rachbini malah menyebut gaji pejabat BPIP itu “tak Pancasilais.”
“Saya berpandangan bahwa gaji di BPIP sebagai lembaga baru di luar kewajaran. Bahkan saya berani mengatakan bahwa praktik kebijakan seperti itu tidak Pancasilais mengingat kondisi kesenjangan rakyat yang luar biasa pada saat ini,” kata Didik seperti dilansir detikcom, Rabu (30/5/2018).
Menurut Didik, cara pengalokasian gaji itu seperti hendak mengambil hati atau “menyuap” tokoh-tokoh agar berpihak kepada pemerintah.
[shodiq ramadhan]