Rezim Sempoyongan, Ambil Kebijakan Berdasar ‘Profit Oriented’
Sempoyongan. Bagai dimabuk kepayang oleh kemanfaatan, penguasa negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau beralkohol dari skala besar hingga kecil.
Adapun perizinan penanaman modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.
Empat wilayah tersebut dipandang sebagai wilayah yang memiliki peluang menghasilkan dan mengedarkan miras secara fantastis. Memang miris.
Adapun Penanaman modal di luar wilayah tersebut, dapat ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.
Tidak tanggung-tanggung, Investasi yang diizinkan melibatkan pribumi dan asing bahkan boleh mengalir dengan nilai lebih dari Rp10 miliar di luar tanah dan bangunan. Tapi, wajib membentuk perseroan terbatas (PT) dengan dasar hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam negeri.
Tak hanya mengatur soal investasi pada industri miras, Jokowi juga memberi restu investasi bagi perdagangan eceran miras atau beralkohol masuk daftar bidang usaha yang diperbolehkan dengan persyaratan tertentu (CNN/25/2/2021).
Bagai test the water, kebijakan tersebut otomatis menuai riak-riak kecaman. PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menyesalkan peraturan presiden (perpres) yang dikeluarkan Presiden Jokowi terkait investasi minuman keras (miras) di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara (Sulut), hingga Papua. PKS menilai hal tersebut kontradiktif dengan keinginan Jokowi membangun sumber daya manusia (SDM).
Setali tiga uang, Putra Papua pun ikut menolak kebijakan tersebut. Anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI dari Papua Filep Wamafma, menilai tak ada artinya meningkatkan investasi melalui industri miras. Mengingat kasus kriminalitas di Papua terus meningkat tiap tahunnya. Bahkan, ia menilai aturan tersebut tak akan menyelesaikan pelbagai persoalan keamanan di Papua.
Filep memandang bahwa keputusan Jokowi dalam Perpres tumpang tindih dengan kebijakan daerah dan pandangan tokoh agama setempat. Diketahui bahwa Gubernur Papua Lukas Enembe sempat meneken Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang pelarangan peredaran minuman keras di Bumi Cenderawasih (Jpjn.com/27/2021).
Tak kalah keras, Mantan Wasekjen MUI, Ustadz Tengku Zulkarnaen, menyampaikan jika Jokowi dahulunya menarik simpati masyarakat dengan gayanya yang religius, seperti memimpin salat berjamaah dan lainnya. Namun kini membuka keran investasi miras (fajar.coid/27/2/2021). Bahkan Wapres yang berasal dari kalangan ulama pun mendapat sorotan tajam. Tak bisakah bersikeras untuk mengingatkan Tuan Presiden sebelum memutuskan sesuatu yang menuai banyak kecaman ini? Atau bahkan memang benar jika orang baik masuk ke dalam sistem demokrasi memang akan terhardik.
Ini menjadi deretan potret mengenai Rezim Sempoyongan yang kian menuai kekecewaan. Rezim yang memutuskan kebijakan berdasarkan profit oriented hasil desakan para pengusaha, tanpa lebih matang memikirkan nasib generasi bangsa.