Kisah Ibnu Ummi Maktum Dibantu Iblis ke Masjid
Dikisahkan Nabi sedang menyampaikan pengajian di Masjid Madinah. Nabi menyampaikan perihal hukum terkait azan dan kewajibannya bagi setiap Muslim agar segera menjawab panggilan tersebut.
Banyak sahabat yang mendengar pertanyaan Nabi yang sederhana lagi menarik itu. Yang bingung segera bertanya kepada Nabi. Nabi lantas menjawab. Memang sudah kebiasaan Nabi, ketika menyampaikan kajian membuka tanya-jawab. Hal demikian untuk menambah cakrawala pemahaman para sahabat.
Salah satunya adalah sahabat Ibnu Ummi Maktum. Sahabat yang juga kerabat dekat istri nabi pertama. Kala itu, masjid memang menjadi tempat utama mencari ilmu. Pengobat dahaga dari hausnya ilmu.
Ibnu Maktum belum paham, apa kewajiban itu hanya untuk kalangan tertentu atau juga macam dirinya. Sedangkan ia termasuk orang yang tidak bisa melihat semenjak lahir. Itu tak mengurangi rasa cintanya pada agama yang amat dicintainya. Hatinya gundah. Jiwanya resah. Dadanya bergemuruh.
Setelah punya kesempatan, langsung ia tanyakan pada Rasul apa yang membebani jiwanya itu.
“Wahai Rasul, apakah itu juga diwajibakan kepadaku,” katanya cemas. “Sedang aku termasuk orang yang tidak mampu melihat, pastinya kerepotan untuk melakukan perintah demikian,” lanjutnya dengan lesu.
Nabi lantas bertanya balik, “Kamu bisa mendengar suara azan?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,” kata nabi, “termasuk kepadamu.
Mendengar penjelasan itu cahaya keimanan berkobar. Semangat berjuangan tumbuh. Setiap subuh ia paling terdepan hadir di masjid. Iman bukan sekedar perkataan. Fasih di lisan, di terapis hati, dan dibuktikan kebenarannya bahkan dirinya bersama Bilal didaulat sebagai muazin utama kala itu.
Suatu waktu, saat azan berkumandang di Masjid, sahabat mulia ini bergergegas melangkah. Namun naas, kakinya tersandung batu di jalan hingga membuat kakinya berdarah.
Hal itu tak menyurutkan niatnya yang sudah membulat, ingin selalu dekat dengan rasul dan berjamaah shalat dengan manusia mulia sejagat. Tertatih langkahnya. Mata hatinya tuntun hingga rasa sakit seakan hempas.
Esoknya, ada seorang pemuda yang menawarkan membantunya. Setiap hari pemuda itu setia menemani dan mengantarkan ke masjid. Ibnu Maktum penasaran, sebab ia tidak tahu namanya.
“Wahai pemuda yang baik, selama ini kamu telah setia mengantarkan aku ke masjid. Gerangan siapa namamu?”
“Kamu tidak perlu tahu,” jawab pemuda itu.
“Aku ingin tahu. Karena mintamu menuntun ke masjid, aku akan mendoakan pada Rabbul izzati. Pemilik alam sejagat atasmu.”
“Tidak perlu.”
“Kalau kamu tak mau aku doakan, mulai sekarang jangan membantu aku pergi ke masjid,” tegas Ibnu Maktum.
“Kamu serius ingin tahu siapa aku sebenarnya?” tanya balik pemuda itu.
“Tentu saja.”
“Aku ini iblis,”
“Kalau kamu iblis, kenapa kamu mau membantu hamba Allah yang tepat?” heran tanyanya.
“Kamu ingat saat kamu pergi ke masjid dan tersandung batu. Namun kamu tetap pergi ke masjid. Maka Allah mengampuni separuh dosamu. Kalau kamu terjatuh lagi, pisuh dosamu bisa jadi Allah lebur semua. Aku tak mau itu terjadi, makanya aku bersiasat membantu berjalan ke masjid.”
Demikian kisah sahabat mulia itu, walaupun keadan dan kondisi fisik tak memungkinkan. Cinta dan kobaran iman menuntunnya pada langkah yang Allah ridhai.
I’tibar untuk kita bahwasannya Iblis tidak akan berhenti menggoda dan menjerumuskan pada jalan yang Allah murkai.
[Diambil ambil dari berbagai sumber]
Pandeglang, 21/1/2021
Mahyudin An-Nafi