Samakah Akhlak dan Budaya dengan Agama?
Ramai dibicarakan tentang peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan yang menimbulkan kegaduhan dan menimbulkan tanggapan kontra dari beberapa elemen dan warga negara seperti Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Muhammadiyah melalui ketua umumnya Haedar Nashir memprotes terkait kebijakan melahirkan peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 dan mengatakan: “Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja? Oke kalau Pancasila itu dasar (negara), tapi kenapa budaya itu masuk?”
Kenapa Peta Jalan yang dirumuskan oleh Kemendikbud kok berani berbeda dari atau menyalahi pasal 31 UUD 1945. Kalau orang hukum itu mengatakan ini Pelanggaran Konstitusional, tapi kami sebagai organisasi dakwah itu kalimatnya adalah ‘tidak sejalan’ dengan Pasal 31 (Muhammadiyah.or.id, 5 Maret 2021).
MUI melalui Wakil Ketua Umum mengatakan bahwa draf peta jalan pendidikan Indonesia itu bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Pasal 29 ayat (1) UUD ’45 menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa (CNN Indonesia, 9 Maret 2021).
Peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 tidak hanya secara hukum memang bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 yang mengatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa namun juga menyelisihi tujuan pendidikan nasional yang telah diuraikan dalam pasal 31 ayat 3 yaitu pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Jadi tujuan besar pendidikan di Indonesia yang sah dan dilindungi oleh undang-undang adalah melahirkan generasi yang beriman, bertakwa dan memiliki akhlak mulia. Pertanyaan besarnya adalah mungkinkah mewujudkan generasi dan insan yang beriman, bertakwa dan memiliki akhlak mulia jika frasa agama dihilangkan dan tidak muncul dalam peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035?
Definisi Agama
Agama (religion) atau dalam Islam lebih dikenal sebagai Din. Meskipun sebagian ulama mengatakan definisi agama tidak merangkum semua dari definisi Din yang ada dalam Al-Qur’an yaitu Din al-Islam namun setidaknya istilah agama inilah yang dipakai dan mencukupi untuk menggambarkan keyakinan seseorang terkait konsep ketuhanan dan kewajiban didalamnya.
Kata Dīn beralas dari kata dāna-yadīnu yang memiliki beragam makna. Diantara makna tersebut adalah malaka (memiliki), sasa (mengatur), hakama (menghukumi), qahara (memaksa), qadha (memutuskan), hasaba (menghitung), jaza (memberi imbalan) dan `ada (terbiasa) (Ali al Faruqi, 1963).
Selain itu juga berarti ‘atha’a (menaati) dan ittakhadzahu dinan (menjadikan sesuatu sebagai agama) (Kholid Muslih, 2018). Sehingga jika kita melihat definisi Din tersebut maka peranan agama dalam sistem kehidupan umat manusia harusnya dijadikan ketaatan, pedoman hidup yang sifatnya memiliki, mengatur, menghukumi bahkan memaksa para pemeluk agama tersebut untuk menata kehidupannya berdasarkan ajaran agama yang diyakininya tersebut, termasuk aturan dalam sistem pendidikan yang termaktub dalam peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035.
Jalan Panjang Peranan Agama di Indonesia
Agama di Indonesia terkhusus agama Islam mempunyai peranan yang sangat besar dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agama yang membuat Arek-arek Suroboyo mengumandangkan kalimat takbir dan menyambut seruan resolusi jihad yang diserukan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pendiri Ormas Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengusir belanda, belum lagi perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, dan Pahlawan Nasional lainnya yang semuanya itu didasarkan panggilan terhadap Agama yang mengajarkan cinta terhadap tanah air dan membebaskan dan membela tanah air dari tangan penjajah merupakan amalan jihad. Lalu kenapa frasa Agama dihilangkan?