Bias Media dalam Pemberitaan Isu Terorisme
Pengeboman di depan Katedral Makassar begitu besar coverage beritanya di media Indonesia, bahkan media dunia seperti Aljazeera dan Franch 24 serta Euro News. Begitu juga para tokoh lintas partai dan agama merespon begitu cepat.
Padahal banyak kasus serupa di masa lalu menurut para pakar intelijen itu terbukti bagian dari rekayasa dengan tujuan yang tentu berbeda-beda, antara lain untuk mengalihkan publik opini.
Di sisi lain peritiwa pembunuhan seorang Kiai Wawan, ulama anti kezaliman dan pengasuh Ponpes Ciamis, Jabar, dengan cara yang sangat sadis dan biadab oleh kelompok bersenjata di pagi buta nyaris sepi dari pemberitaan media mainstream dan hanya medsos saja yang memberitakan peristiwa tersebut.
Ketidakadilan dalam media coverage ini menimbulkan spekulasi dan tanda tanya besar yang harus dijawab oleh semua. Perlakuan diskriminatif tersebut dipertontonkan ke publik dan dunia maya.
Pengeboman Makassar seakan menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kelompok minoritas atau pengikut agama Kristen dan lain-lain di Indonesia tertekan dan dalam ancaman. Tak ada kebebasan beribadah.
Narasi yang dikembangkan sedemikian rupa dan memojokan umat Islam Indonesia sebagai biang kerok anti perdamaian dan intoleran. (Seolah-olah) Para pelaku pengeboman adalah pengikut agama impor yang bengis dan pelanggar HAM. Itu kesan yang dipahami publik saat menonton dan membaca pemberitaan media.
Apalagi penyajian beritanya menarik, mendebarkan dengan bumbu gambar right from the spot. Di sinilah tanpa disadari bahwa media sudah tak netral. Wajar jika ia dinilai sangat tidak fair dan tidak profesional. Apalagi pemilik media mainstream adalah nonmuslim.
Sementara itu, tak sadar para pelaku pengeboman biasanya adalah mereka yang sudah masuk dalam katagori planted agent dari kalangan strata lemah iman dan termarjinalkan secara ekonomi. Dengan mudah pihak kepolisian dalam waktu singkat menyimpulkan bahwa pelaku adalah dari kelompok radikal terlarang dan alumni ISIS dan sebagainya.
Jujur kita akui bahwa ada kecenderungan dari penegak hukum untuk menjustifikasi perilaku terlarang kelompok tersebut sebagai kambing hitam.
Umat Islam diminta agar cerdik membaca situasi dan menganalisa tragedi sosial yang cenderung berulang dari waktu ke waktu.
Jujur diakui bahwa pertumbuhan rumah ibadah nonmuslim terutama Kristen di Indonesia jauh melampaui masjid. Bahkan umat Islam yang merupakan minoritas di wilayah tertentu kerap dipersekusi oleh nonmuslim.
Tak sedikit umat Islam dibantai secara keji dan aset mereka dimusnahkan. Kasus intoleransi terhadap umat Islam di Indonesia sering dilupakan bahkan dipetieskan.
KH Muhyiddin Junaidi, MA., Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI.