HM Rasjidi, Melihat yang Tidak Terlihat
“Sebenarnya banyak orang yang kecewa, seperti yang saya dengar sendiri langsung dari kalangan IAIN, mengapa ia, dengan latar belakang pendidikan seperti itu, hanya puas dengan menerjemahkan buku, padahal pekerjaan itu dapat dilakukan oleh orang lain dengan mutu yang sama profesionalnya? Betapapun dinilai banyak kelemahannya, Harun Nasution telah mengarang paling tidak enam buku yang berharga untuk dibaca, yang memberikan interpretasinya sendiri tentang filsafat, agama dan Islam. Demikian pula Nurcholish Madjid telah menyeleksi bahan-bahan dari Khasanah Intelektual Islam dengan uraian penilaian yang kritis dan baru, baik dalam cara maupun isinya.”
Demikian kritik Prof. Dawam Rahardjo pada Rasjidi pada buku 70 Tahun Prof Dr HM Rasjidi. Meski Dawam kemudian meneruskan tulisannya bahwa Chairil Anwar pun juga menerjemahkan karya-karya puisi asing, di samping mencipta puisi sendiri, tapi di kalimat itu jelas terlihat bahwa Dawam berniat meninggikan Harun Nasution dan Nurcholish Madjid serta ‘merendahkan’ Rasjidi.
Karya Nurcholish memang kaya referensi, tapi ia mempunyai kesalahan fundamental dalam bidang akidah. Karyanya ibarat gedung yang mengagumkan banyak orang karena interiornya yang bagus, tapi pondasinya retak dan rapuh, sehingga sewaktu-waktu bangunan itu runtuh. Dan hanya para ahli bangunan yang berpengalamanlah yang dapat melihat kerapuhan gedung itu.
Mungkin di sinilah peranan Prof Rasjidi sebagai ‘ahli bangunan’ yang telah berpengalaman internasional dalam mendidik mahasiswa dan manusia-manusia Islam. Pengalaman intelektual Rasjidi di Al Azhar Mesir, McGill Kanada, Sorbonne Perancis, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain menjadikan dirinya saat itu melawan dan menulis kritikan keras kepada pemikiran-pemikiran Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Rasjidi tahu bahaya pemikiran keduanya. Dan memang seorang ‘alim’ (ulama/intelektual Islam) seringkali mengetahui, melihat apa yang tidak dilihat oleh orang ‘jahil’.
Rasjidi menulis buku koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisme dan buku koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Tentang buku Harun Nasution, Rasjidi menyatakan: “Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”
Pada Agustus 1973, rapat rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang diselenggarakan di Ciumbuleuit, Bandung, Departemen Agama RI memutuskan, buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (IDBA) karya Prof. Dr. HarunNasution direkomendasikan untuk diajarkan di IAIN. Meski banyak mengundang kritik, Departemen Agama yang dipimpin Prof. Dr. Mukti Ali tetap memberi jalan pada IDBA untuk dijadikan mata kuliah pengantar agama Islam, mata kuliah komponen institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN.
Kritik Rasjidi kepada Harun itu awalnya bersifat terbatas. Pada 3 Desember 1975, Rasjidi menulis surat kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. “Saya menjelaskan kritik saya pasal demi pasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”
Tapi surat yang dilayangkan Rasjidi tak mendapat jawaban, termasuk dari
Harun. Maka, pada 1977, Rasjidi menerbitkan buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution. Dalam bukunya, Rasjidi mengurai satu per satu argumen Harun yang, menurut dia, “Harun tidak kritis terhadap pemikiran orientalis.”
Rasjidi memberi penilaian, “Harun menunjukkan dirinya sebagai orang yang sangat terpengaruh oleh cara orang mempelajari Islam di Barat, sehingga memberi kesan bahwa semua cara mempelajari Islam di sana baik. Dan semua yang di negeri-negeri Timur Tengah mengecewakan, tanpa melihat perbedaan waktu yang berabad-abad.”
Harun sendiri mengaku terkagum-kagum pada paham Muktazilah, yang sekarang
populer dengan sebutan rasionalis. Dalam wawancara dengan Harian Pelita, 16 Juli 1992, Harun mengaku bahwa, “Paham Muktazilah itulah yang cocok dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi.” Sedangkan paham Ahlusunnah dianggap tidak cocok dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi karena dinilai berpaham Jabari, serba kehendak Tuhan. Dan ini membuat manusia menjadi statis, kurang dinamis.