KPI, Publik Butuh Panduan Tayangan Sepanjang Zaman Bukan Hanya Ramadhan
Sya’ban telah berada di penghujungnya. Umat bersemangat untuk berupaya menyiapkan diri menyambut bulan suci Ramadhan. Bulan seribu bulan yang penuh dengan kemuliaan. Berbagai amalan dilakukan agar kelak bulan Ramadhan dijalani dengan penuh kekhusyuan.
Begitupun yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini telah menetapkan bahwa selama bulan Ramadan 2021 siaran televisi diperketat. Lembaga penyiaran diminta untuk tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), hedonistik, mistik atau supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya.
KPI juga mengimbau untuk tidak menampilkan muatan yang mengeksploitasi konflik dan/atau privasi seseorang, bincang-bincang seks, serta muatan yang bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan (pikiran-rakyat.com/24/3/2021).
Baca juga: Dai Eks FPI-HTI Dilarang Tayang Saat Ramadhan, Anggota DPR: KPI Offside!
Aturan itu tercantum dalam Surat Edaran KPI 2/2021 berdasarkan keputusan pleno 16 Maret 2021. Tujuannya, meningkatkan kekhusyukan menjalankan ibadah puasa.
KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan, maksud dan tujuan dari edaran ini adalah untuk menghormati nilai-nilai agama berkaitan dengan pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan (Tirto.id, 20/3/2021).
Tayangan televisi di negeri ini memang bisa dibilang memprihatinkan. Sinetron yang mengisahkan perselingkuhan dan pergaulan bebas masih sangat diminati masyarakat. Belum lagi tayangan komedi yang kerap kali melecehkan unsur keagamaan, bahkan menampilkan tokoh yang kebanci-bancian. Adanya tayangan berita kriminal pun sering dijadikan inspirasi untuk berbuat tindak kejahatan, bukan malah mengedukasi. Corak tayangan yang disuguhkan sarat dengan kehidupan liberal. Cenderung masif meruntuhkan tatanan moral.
Syekh Bakar Abu Zaid dalam At-Tamtsil mengatakan bahwa di dalam protokoler Yahudi disebutkan, “Kita wajib berbuat untuk menghancurkan akhlak di setiap tempat, sehingga kita mudah menguasai mereka (kaum muslimin). Dan akan selalu ditayangkan hubungan seksual secara jelas agar tidak ada lagi sesuatu yang dianggap suci dalam pandangan para pemuda. Akibatnya, keinginan besar mereka adalah bagaimana memuaskan insting seksualnya. Ketika itulah akhlaknya hancur.” (Adakah Sandiwara (sinetron, film, dll.) Islami? Hal. 72)
Adapun tayangan religi atau berita yang mengedukasi porsinya begitu minim. Penayangannya pun di jam yang tak begitu banyak orang bisa menikmatinya. Jika tayangannya mulai kritis kepada kebijakan penguasa. Nasib acara akan siap-siap dibuat wasalam.
Begitulah sekilas potret tayangan TV yang ada di bawah corak kehidupan kapitalisme-sekularisme. Capaian utamanya adalah rating dan pundi-pundi keuntungan. Abai pada pengaruh yang dihasilkan tayangan. Yang penting masyarakat riuh, tak peduli jika nilai moral makin jatuh.
Tidak dipungkiri keberadaan media merupakan corong untuk menyebarkan berita. Adanya pun sangat efektif sebagai sarana untuk memengaruhi life style juga pembentukan opini umum di tengah khalayak ramai. Satu di antara media berupa TV pun masih memiliki posisi berarti di hati masyarakat negeri ini.
Sehingga sangat menyayangkan jika KPI hanya memberlakukan panduan dan himbauan tayangan sekadar untuk menghormati bulan suci Ramadhan. Bagaimana dengan nasib penjagaan moral via tayangan di sebelas bulan ke depan? Bukankah tayangan yang sopan, yang membentuk moral baik, dan mendidik itu sangat dibutuhkan sepanjang zaman? Tak cukup dalam bulan suci Ramadhan.