Menolak Eksepsi dengan Hadits Nabi, Tepatkah?
Jaksa Penuntut Umum pada sidang kasus kerumunan Petamburan dan Maulid Nabi Saw menolak eksepsi yang dibacakan Ha-er-es. Dalam penolakannya, JPU menyitir salah satu hadits Nabi Saw (26/03). Menurutnya, Nabi Saw itu tidak akan segan-segan memotong tangan Fatimah putrinya sekiranya putrinya tersebut mencuri. Jadi keturunan Nabi pun tidak bisa kebal hukum, imbuhnya.
Menarik apa yang telah disampaikan oleh JPU. Hanya saja persoalannya, apakah memang demikian penjelasan dari hadits yang dikutip tersebut?
Hadits Nabi yang dimaksud redaksi lengkapnya adalah berikut ini.
Dari Aisyah rah: Ada seorang wanita Bani Makhzumiyyah yang telah mencuri. Ia berasal dari keluarga terhormat dan disegani di kalangan Quraisy. Maka mereka berkata: Siapakah yang bisa bicara dengan Rasul Saw dalam perkara ini? Mereka menjawab: Siapakah yang lebih layak selain Usamah bin Zaid kecintaan Rasul Saw. Maka Usamah pun bicara kepada Rasul Saw. Rasul Saw bersabda: Apakah kamu akan minta keringanan terhadap hudud Allah? Kemudian Rasul Saw berdiri dan berpidato. Rasul Saw bersabda:”Sesungguhnya yang menyebabkan kehancuran umat-umat sebelum kalian adalah tatkala yang mencuri itu adalah orang mulia, mereka tidak menghukumnya. Akan tetapi tatkala yang mencuri itu adalah orang lemah, maka mereka menghukumnya. Demi Allah, sekiranya Fatimah Putri Muhammad mencuri, sungguh niscaya aku akan potong tangannya.”
Dari hadits tersebut dapat diambil dua pengertian:
Pertama, suatu perkara pelanggaran hukum bila sudah disodorkan kepada penguasa, maka tidak ada satupun yang berhak untuk meminta keringanan. Penguasa dalam hal ini adalah hakim/qadhi. Artinya pengadilan yang akan memutuskan vonis setelah terbukti fakta-fakta kasus di depan pengadilan. Bisa terdapat upaya meminta keringanan hukum dalam hal yang berkaitan dengan takzir maupun mukholafat.
Takzir dan mukholafat menjadi hak penguasa dan wakilnya untuk menentukan kadar sangsinya. Sedangkan dalam hudud dan jinayat tidak ada satu pun yang berhak meminta keringanan. Alasannya, dalam hudud dan jinayat, bentuk dan kadar sangsinya sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, hadits tersebut berbicara tentang persamaan kedudukan setiap orang di depan hukum. Tidak ada diskriminasi dalam proses hukum hingga vonis yang dijatuhkan. Orang kaya maupun miskin sama. Penguasa, pejabat maupun rakyat itu sama di depan hukum. Orang terhormat maupun bukan, kedudukannya sama dalam hukum.
Dalam kasus pelanggaran prokes karena adanya kerumunan massa, bila menerapkan asas persamaan kedudukan di muka hukum, maka semua yang melanggar harus diberikan sangsi. Faktanya justru terjadi ketidakadilan. Pada kasus kerumunan Petamburan, aparat bertindak cepat dan tegas. Sanksi sudah diberikan berupa denda yakni Rp 50 juta. Ternyata belum selesai juga. Justru kantor ormas tersebut ditutup, dinyatakan ilegal setelah enam orang anggotanya menjadi korban pembunuhan di KM 50. Sekarang pemimpin besarnya mendapatkan perlakuan sedemikian rupa.
Mari kita bandingkan dengan kerumunan serupa yang dilakukan oleh para pejabat. Pada saat kunjungan kerja Presiden ke NTT telah memicu kerumunan massa yang melanggar prokes. Menurut pakar hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari, presiden bisa diberi sangsi dengan catatan yang mengangkat persoalan ini adalah DPR yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan menurut Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, polisi bisa langsung memberikan sangsi kepada presiden. Sanksinya bisa dipenjara atau membayar denda. Bila sudah membayar denda, urusannya sudah selesai. Sayangnya hal demikian tidaklah terjadi. Begitu pula kerumunan massa dari Gibran dan Bobby baik dalam kampanye maupun euforia kemenangannya.
Pertanyaannya, apakah ini yang bisa disebut sebagai persamaan kedudukan di depan hukum? Apakah ini sebuah keadilan tatkala penguasa dan lingkarannya tidak bisa disentuh hukum?
Berikutnya terkait dengan kasus terbunuhnya enam laskar ormas. Pembunuhan itu termasuk perkara jinayat yang hukumannya dalam Islam adalah hukum balas bunuh atau denda berupa 100 ekor unta yang 40 ekornya bunting yang senilai dengan 1000 dinar. Artinya bila konsisten menggunakan hadits Nabi tersebut, tentunya ada proses pengadilan yang seadil-adilnya terhadap para pelakunya. Ketika terbukti, maka sangsinya tidak boleh diganti dengan sangsi lain yang tidak bersumber dari hududnya Allah SWT.
Walhasil sebagai seorang muslim patutlah kita senantiasa selalu ingat dengan peringatan Rasul Saw yang menyatakan bahwa barangsiapa yang berdusta atas nama Rasul Saw dengan sengaja, maka hendaklah mereka pesan tempat duduknya di neraka. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.
Ainul Mizan, Peneliti LANSKAP