Islamisasi Pancasila atau Sekulerisasi Pancasila?
Saat ini di masyarakat banyak pihak yang merasa sok Pancasila. Mereka dengan mudahnya mengatakan bahwa kelompoknya yang paling Pancasilais, pro keberagaman dan seterusnya. Kelompok ini juga memojokkan ormas-ormas Islam, yang menurut mereka kurang Pancasilais dan anti keberagaman.
Pernyataan seperti ini sebenarnya terjadi sejak zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Di masa Orde Lama, Pancasila ditarik ke aliran komunis atau progresif revolusioner, sehingga mereka yang tidak pro komunis dianggap anti Pancasila. Begitu juga di zaman Orde Baru, Pancasila ditarik ke arah sekulerisasi, sehingga mereka yang tidak sekuler dianggap anti Pancasila.
Pancasila memang ideologi terbuka. Meski demikian, harusnya penafsiran sila-sila dalam Pancasila mestinya melihat sejarah yang ada. Misalnya penafsiran Ketuhanan Yang Maha Esa. Bila dilihat dari sejarahnya, maka sila ini yang menggantikan sila pertama Piagam Jakarta, Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Saat itu, 18 Agustus 1945, Bung Hatta melobi Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo agar menerima Ketuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta terus terang menyatakan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid (Qul huwallahu ahad, katakanlah Allah itu esa).
Bila kita kaji sejarah, isi Pancasila yang tertera dalam Pembukaan UUD ’45 (plus amandemen) saat ini adalah hasil dari konsensus tokoh-tokoh pendiri republik ini. Dan ada empat tokoh Islam di sana. Pancasila yang ada sekarang ini dirumuskan dari Piagam Jakarta dan hanya sila pertama yang diubah. Dari “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Empat sila lainnya tetap. Pancasila ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Panitia kecil yang dibentuk menjelang kemerdekaan RI 1945 yang diambil dari anggota-anggota BPUPKI. Anggota Panitia Sembilan ini meliputi wakil kalangan nasionalis sekuler, Kristen dan nasionalis Islam.
Mereka adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin dan Ahmad Soebardjo. Kahar Muzakkir, Abikusno, Agus Salim dan Wahid Hasyim adalah empat tokoh Islam yang berjuang ‘mati-matian’ saat itu sehingga teks Pancasila saat ini penuh dengan nafas Keislaman. Sayangnya ahli-ahli hukum kita kemudian membelokkan Pancasila ini menjadi sekuler.
Memang istilah Pancasila mungkin dari Soekarno atau Yamin. Tapi isi dari teks Pancasila itu, empat tokoh Islam itu mempunyai andil besar. Kata adil, beradab, kerakyatan, hikmah, kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan adalah kosa-kosa kata Islam yang hampir mustahil disuarakan oleh tokoh-tokoh sekuler saat itu. Sayangnya hingga kini belum ditemukan (atau jangan-jangan sengaja dihilangkan) pembahasan atau notulen secara rinci perumusan Pancasila itu. Dari 30 anggota BPUPKI yang berbicara, Yamin hanya menuliskan tiga orang saja dalam bukunya.
Kalau kita lihat naskah dari Yamin, yang dipidatokan 29 Mei 1945, naskah Pancasilanya adalah 1. Perikebangsaan. 2. Perikemanusiaan. 3. Periketuhanan 4. Perikerakyatan 5. Kesejahteraan rakyat.
Pada 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan lima rumusan dasar negara, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Setelah rapat berhari-hari tentang dasar negara itu –Soekarno menyebutnya ‘berkeringat-keringat’—akhirnya pada 22 Juni 1945 Piagam Jakarta disahkan bersama. Dalam persidangan itu (baca buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, terbitan GIP) —debat berlangsung sengit. Mulai dari masalah presiden harus orang Islam, dasar Negara harus Islam dan lain-lain. Setelah perdebatan berlangsung lama, maka disetujuilah Piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 45 yang juga mencakup Pancasila. Dimana sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.”
Piagam Jakarta yang dikawal empat tokoh Islam ini bila kita cermati beda dengan Pancasila rumusan Soekarno dan Yamin. Tapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal 17 Agustus dan akan disahkan pada 18 Agustus 1945 itu digagalkan Soekarno dan kawan-kawannya. Pagi-pagi buta jam empat, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.
Dan ujungnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah mendasar. Lewat rapat kilat yang berlangsung tidak sampai tiga jam, hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya. Dalam rapat yang mendadak yang diinisiatif oleh Soekarno (dan Hatta) itu, empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Otto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.