Amien Rais dan Indonesia (3)
Buku “Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta” diterbitkan oleh Mizan pada Agustus 1987. Buku kumpulan makalah dan tulisan Amien Rais ini mengalami cetak ulang sampai kesepuluh pada 1999. Saya memiliki edisi buku pada tahun ini.
Jasa Hamid Basyaib dan Haidar Bagir sangat besar untuk penerbitan buku ini. Di sini lulusan Universitas Notre Dame dan Chicago ini menunjukkan kelasnya. Amien berhasil dengan meyakinkan menunjukkan hubungan antara Tauhid, Negara dan Politik.
Menurut Amien, kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan esensial. Secara etimologis tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah. Formulasi paling pendek dari tauhid itu ialah kalimat thayibah: Laa Ilaha illa Llah, tidak ada Tuhan selain Allah.
Baca juga: Amien Rais dan Indonesia (2)
Dengan mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah, seorang manusia tauhid memutlakkan Allah Yang Maha Esa sebagai Khaliq atau Maha Pencipta dan menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya. Karena itu hubungan manusia dengan Allah tak setara dibandingkan dibandingkan hubungannya dengan sesama makhluk.
Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan menjadi nilai (value) bagi manusia tauhid, dan ia tidak mau menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk Allah. Komitmennya kepada Tuhan adalah utuh, total, positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian, ketaatan dan kepasrahan (kepada Tuhan), serta kemauan keras untuk menjalankan kehendak-kehendakNya.
Pembebasan Manusia
Laa ilaha illa Llah meniadakan otoritas dan petunjuk yang datang bukan dari Tuhan. Jadi sesungguhnya kalimat thayibah merupakan kalimat ‘pembebasan bagi manusia.’ Seorang manusia tauhid mengemban tugas untuk melaksanakan tahrirun nas min ibadatil ibad ila ibadatillah (membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia kepada menyembah Allah semata.
Di sini Amien seperti mengejek ras kulit putih, Yahudi dan China yang merasa unggul atau superior dibanding manusia lain. “Setiap manusia adalah hamba Allah yang berstatus sama,” terangnya. Jadi tidak ada manusia yang lebih tinggi dari yang lain. Tidak ada kolektivitas manusia, atau bangsa yang superior dibanding dengan bangsa yang lain. Dalam surat al Hujurat 13, Allah menjelaskan,
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Al Hujurat 13)
Jadi semua manusia kedudukannya dihadapan Allah. Tinggi rendahnya kdudukan manusia terletak pada tinggi atau rendah takwa kepadaNya. Taqwa adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Sekali seorang manusia atau suatu bangsa merasa dirinya lebih inferior dibanding manusia atau bangsa lainnya, maka ia akan kehilangan kebebasan dan jatuh dalam perbudakan mental. Begitu juga dalam masalah keagamaan, Islam tidak mengakui setiap lembaga yang menyerupai lembaga kependetaan (priesthood, rabbihud), karena Allah tidak pernah mempercayakan suatu perwalian untuk mewakiliNya di muka bumi ini. “La rahbaniyyata fil Islam, tidak ada sistem kependetaan dalam Islam,” tegas laki-laki yang berjasa besar ‘menumbangkan Orba ini.’ Dengan perkataan lain, sekali seorang manusia merasa lebih rendah atau lebih tinggi dari manusia lainnya, maka ia telah jatuh pada syirik, lawannya tauhid.