Di Bawah Pandemi dan UU Ciptaker Kesejahteraan Buruh Kian Terpuruk
Hari ini, 1 Mei, kita kembali memperingati Hari Buruh Internasional. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai, kita melihat nasib buruh di Indonesia semakin susah hidupnya. UU Cipta Kerja yang dijanjikan oleh pemerintah bisa memperluas lapangan kerja dan mendatangkan investasi, nyatanya lebih banyak menjadi instrumen pembenar untuk menekan hak-hak buruh.
Setidaknya ada tiga catatan keprihatinan di Hari Buruh tahun ini.
Pertama, tingkat kesejahteraan buruh menjadi makin terpuruk. Dari data BPS, di tengah pandemi ini ada 24,03 juta angkatan kerja yang mengalami pengurangan jam kerja. Akibatnya, jumlah pengangguran terbuka kita meningkat, dan rata-rata upah buruh menjadi turun 5,20 persen, dari rata-rata Rp2,9 juta perbulan di 2019 menjadi Rp2,76 juta per bulan di 2020.
Penurunan tersebut baru berasal dari tekanan alamiah akibat pandemi. Padahal, di luar pandemi, ada tekanan lain yang bersifat struktural, yaitu UU Cipta Kerja. Fakta di lapangan menyodorkan jika kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja telah membuat ancaman terhadap buruh menjadi berlipat.
Dalam UU Cipta Kerja, misalnya, tak ada lagi klausul Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral, yang ada hanyalah Upah Minimum Provinsi (UMP). Akibatnya, kelompok buruh dibentuk seperti pasar tenaga kerja dengan rezim upah murah.
Saat ini, dapat dipastikan bahwa hampir semua provinsi mengalami penurunan upah. Provinsi dengan penurunan upah buruh tertinggi adalah Bali, yaitu sebesar 17,91 persen, disusul Kepulauan Bangka Belitung (16,98 persen), dan Nusa Tenggara Barat (8,95 persen). Sementara itu, provinsi-provinsi besar di Jawa upah buruhnya juga turun, yaitu Jawa Barat sebesar 7,48 persen, Jawa Tengah sebesar 4,77 persen, dan Jawa Timur sebesar 3,87 persen.
Dengan penghitungan upah berdasarkan pada satuan waktu dan hasil, UU Cipta Kerja juga telah membuat buruh bekerja lebih ekstra, namun dengan tingkat upah yang lebih rendah. Apalagi, struktur dan skala upah ditentukan oleh kemampuan perusahaan. Bisa dipastikan, di tengah pandemi dan di bawah UU Cipta Kerja, kesejahteraan buruk kian jatuh terpuruk.
Kedua, daya serap angkatan kerja kita makin mengecil. Data BKPM mencatat, tingkat penyerapan tenaga kerja dari setiap investasi yang masuk terus mengalami penurunan. Di 2010, setiap investasi Rp1 triliun masih bisa menyerap 5.014 tenaga kerja. Namun, pada 2016 angkanya telah turun menjadi 2.272 saja. Dan di 2020, tiap investasi Rp1 triliun hanya tinggal menyerap 1.390 tenaga kerja saja.
Data ini menunjukkan investasi yang masuk ke Indonesia sangat tidak berkualitas. Ini pula yang menjelaskan kenapa jumlah lapangan kerja yang terbentuk tak signfikan, meskipun ada pertumbuhan investasi. Di bawah rezim UU Cipta Kerja, kualitas investasi ini bisa dipastikan bertambah buruk.
Itu sebabnya sejak awal saya menilai UU Cipta Kerja adalah kebijakan salah arah. Meskipun di kuartal pertama 2021 UU Cipta Kerja mampu menarik investasi, tapi terbukti gagal memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan buruh. Undang-undang tersebut memang dibuat lebih untuk melayani kepentingan para pengusaha ketimbang kaum buruh.
Dan ketiga, Revolusi Industri 4.0 yang kerap digadang-gadang pemerintah bisa menyelamatkan angkatan kerja, pada kenyataannya justru telah melahirkan sejenis perbudakan baru. Penelitian yang dilakukan oleh Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gadjah Mada tahun lalu, yang mengkaji kelayakan kerja mitra tukang ojek dengan penyedia jasa aplikasi, berhasil menggambarkan fenomena tersebut.
Menurut penelitian tersebut hubungan kemitraan yang terbentuk bukannya menciptakan kebebasan dan kemerdekaan bagi para mitra, namun justru menciptakan hubungan kerja yang eksploitatif. Hubungan kemitraan ternyata lebih banyak bertolak dari kepentingan agar perusahaan terbebas dari kewajiban memberi jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja layak kepada para mitra pekerjanya. Ironisnya, ini bukan hanya terjadi pada mitra penyedia aplikasi transportasi online, tapi juga terjadi di e-commerce lainnya.
Baru-baru ini kita membaca bahwa di balik harga murah dan promosi bebas ongkos kirim yang ditawarkan oleh sebuah marketplace besar, ternyata ada eksploitasi dan tekanan terhadap upah para kurirnya. Ini tentu saja ironis.
Di mana-mana Presiden Joko Widodo selalu membanggakan disrupsi digital ini sebagai lompatan ke masa depan. Namun faktanya, di bidang ketenagakerjaan, karena negara gagal melindungi kaum buruh, disrupsi digital ini telah mengembalikan kita ke era perbudakan baru.
Di hari buruh ini, saya ingin mengajak pemerintah dan setiap pemangku kepentingan untuk benar-benar serius memperhatikan kesejahteraan kaum buruh. Sebab, peningkatan kesejahteraan buruh akan berdampak signifikan dalam mendorong pemulihan ekonomi Indonesia di tengah pandemi.
Selamat Hari Buruh!
Dr. Fadli Zon
Ketua BKSAP DPR RI, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra