Zakat dan Masalah Kesenjangan Kesejahteraan
Zakat merupakan kewajiban setiap Muslim yang merupakan bagian dari rukun Islam. Pada saat Idul Fitri, maka sudah menjadi kewajiban setiap Muslim untuk membayar zakat fitrah. Zakat fitrah diwujudkan dalam bentuk makanan pokok yang diberikan kepada mereka yang berhak atau mustahik.
Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat atau mustahik, yaitu fakir, miskin, hamba sahaya, gharim (orang yang memiliki banyak hutang), mualaf, fii sabililah, ibnu sabil (musafir dan orang yang menuntut ilmu di perantauan) dan amil zakat. Adapun mereka yang wajib membayar pajak disebut dengan muzakki.
Zakat fitrah merupakan kewajiban yang dibayarkan oleh setiap Muslim sebelum Idulfitri, namun demikian zakat tidak hanya zakat fitrah saja, ada zakat maal yang mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa.
Zakat maal adalah zakat dari harta yang dimiliki seseorang setelah memenuhi nishab (mencapai jumlah tertentu). Zakat maal yang berbentuk kekayaan yang wajib dibayar zakatnya antara lain emas dan perak, binatang ternak, hasil pertanian, harta perniagaan, barang tambang dan kekayaan laut serta harta karun.
Berdasarkan fiqih, membayar zakat merupakan kewajiban karena pada dasarnya dalam setiap harta seorang Muslim terkandung hak-hak mereka yang berhak menerima zakat. Konsep ini ternyata sesuai dengan masalah struktural ekonomi yang ada di Indonesia saat ini, yaitu kesenjangan kesejahteraan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2017 koefisien Gini Ratio Indonesia mencapai 0,385. Koefisien Gini Ratio adalah sebuah indikator untuk mengukur kesenjangan kesejahteraan sebuah wilayah. Semakin besar koefisien Gini Ratio sebuah wilayah, maka kesenjangan kesejahteraan di wilayah tersebut semakin lebar.
Angka koefisien Gini Ratio di perkotaan Indonesia mencapai 0,40 sementara untuk wilayah pedesaan angkanya berada di kisaran 0,32. Koefisien Gini Ratio Indonesia sebesar 0,391 menunjukkan kesenjangan kesejahteraan di Indonesia berada pada level moderat. Indonesia berada pada level yang lebih baik dibandingkan Malaysia dengan koefisien Gini Ratio sebesar 0,40 namun beraa di bawah Thailand dan Vietnam dengan koefisien Gini Ratio mencapai 0,37. Namun demikian, persoalan kesenjangan kesejahteraan ini membutuhkan penyelesaian dengan segera, karena hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pengelolaan Zakat
Zakat dari kacamata ilmu ekonomi adalah salah satu cara mengatasi kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan. Peerzade (1997) mengemukakan, sebagian besar negara dengan penduduk mayoritas Islam masuk dalam kelompok negara berkembang.
Persoalan kemiskinan bersama dengan tingginya angka pengangguran dan kesenjangan pendapatan adalah persoalan struktur ekonomi yang muncul di negara berkembang termasuk negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim (Shirazi dan Amin, 2009). Mustahik atau individu dan badan yang berhak menerima zakat dari kacamata ilmu pembangunan merupakan kelompok yang layak mendapatkan bantuan baik dalam bentuk hibah (charity) maupun bantuan produktif. Pengelolaan zakat maal (harta) lebih fleksibel karena zakat maal jika dipandang dari sisi kemaslahatan bisa diwujudkan dalam bentuk uang yang senilai atau barang yang senilai maka diperbolehkan. Hal ini berbeda dengan zakat fitrah yang harus dalam bentuk makanan pokok.
Kelompok fakir dan miskin merupakan sasaran utama dari distribusi zakat. Dalam terminologi ekonomi pembangunan kelompok masyarakat miskin biasanya hanya dilihat dari aspek pendapatan individu dan standar kehidupan minimum. Mohammad (1991) menjelaskan tentang prospek yang lebih baik dalam program pemberantasan kemiskinan dengan menggunakan mekanisme pengumpulan dan distribusi zakat. Kelompok fakir menjadi target pemberian yang bersifat charity karena secara pengertian mereka adalah kelompok masyarakat miskin yang tidak bisa mandiri, misalnya keterbatasan fisik , lanjut usia dan yatim piatu yang masih membutuhkan perlindungan (Ahmed dan Ahmad, 1981). Adapun kelompok masyarakat miskin, ibnu sabil dan fii sabililah bisa mendapatkan distribusi zakat yang bersifat bantuan produktif berupa modal atau pelatihan (Ahmed et al., 2017).
Pengelolaan zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan pendapatan memerlukan terobosan dalam wujud bantuan yang berasal dari dana zakat. Pada saat ini ada berbagai badan pengelola zakat, infak dan shodaqoh (LAZIS) yang dikelola pemerintah maupun organisasi masyarakat keagamaan. Namun demikian, pengelolaan zakat, infak dan sedekah (ZIS) hampir seragam yaitu bantuan berupa hibah dan sebagian besar dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif (uang tunai, bahan makanan ataupun bahan pokok lainnya). Kondisi ini menyebabkan dampak pemberian zakat hanya berlangsung dalam jangka pendek dan amil zakat juga tidak mempunyai strategi dalam mengelola keberlanjutan organisasi.