Palestina Adalah Kita
“Bismillahirahmanirahim. Atas nama Tuhan, yang Maha Penyayang, yang Maha Pengasih. Inilah jaminan keselamatan yang diberikan kepada orang-orang Yerusalem oleh seorang hamba Allah, panglima setia, Umar. Dia telah memberi jaminan keselamatan bagi mereka, harta benda mereka, gereja mereka, salib mereka, orang sakit dan sehat di kota dan untuk semua ritual yang menjadi milik agama mereka.
Gereja mereka tidak akan dihuni oleh umat Islam dan tidak akan dihancurkan. Baik mereka, maupun tanah tempat mereka berdiri, maupun salib mereka, atau harta benda mereka tidak akan dirusak. Mereka tidak akan diminta pindah keyakinan secara paksa. Tidak ada orang Yahudi yang akan tinggal bersama mereka di Yerusalem.” (Perjanjian Umariyah-Lost Islamic History)
Dikutip dalam The Great Arab Conquests, dari Tarikh Tabari, perjanjian ini menjadi kesepakatan yang paling progresif sepanjang sejarah. Sebagai bandingan, 23 tahun sebelumnya ketika Yerusalem ditaklukkan Persia dari Romawi Timur, terjadi pembantaian yang mengerikan.
Pembantaian juga terjadi ketika Yerusalem direbut oleh tentara salib dari Muslim tahun 1099. Sebaliknya, perjanjian Umar tidak mengizinkan penghuni wilayah yang ditaklukkannya disakiti bahkan jatuh sehelai rambutnya. Sebab futuhat dalam Islam bukanlah penjajahan yang menghabisi penduduk negeri, namun membawa pesan dakwah, menebarkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Tapi lagi-lagi arogansi tentara Israel dengan brutal mengusik keindahan bulan suci Ramadan, dengan menyerang warga muslim Palestina yang sedang beribadah di masjid. Tabiah umat sepanjang 10 hari terakhir adalah menghidupkan malam, mengisi malam menuju akhir Ramadan menjemput lailatur qodar, mengagungkan asma Allah.
Berbagai negara pun merespon dengan mengutuk keras tindakan Israel terhadap jemaah Masjid Al-Aqsha, pada Jumat (7/5/2021). Tidak hanya badan-badan Arab di seluruh Timur Tengah, seperti dilansir oleh The Jerusalem Post pada Sabtu (8/5/2021), Indonesia pun turut menyampaikan hal serupa.
Sungguh tidak cukup dengan itu. Tatkala musuh memberondong nyawa kaum muslim dengan senjata canggihnya, muslim Palestina hanya berbekal senjata ala kadarnya. Kutukan keras tidak akan mengendurkan kejahatan Israel. Bahkan akan semakin besar sebab tidak ada pemimpin tunggal di tubuh umat yang mereka takuti.
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam keputusannya tanggal 21 Juni 1971, yang mengatakan bahwa, dasar hak penentuan nasib diri-sendiri untuk segala bangsa yang terjajah dan cara-cara untuk mengakhiri dengan secepat-cepatnya segala macam bentuk penjajahan, sudah ditegaskan dalam Resolusi 1514 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Tapi lagi-lagi, tidak ada langkah nyata dari lembaga yang satu ini.
Sementara para pemimpin negeri muslim yang memiliki kekuatan untuk menyerang balik penjajahan Israel, melalui kekuatan senjata, mobilisasi pasukan perang atau boikot ekonomi, justru berjabat tangan dengan Israel. Bahrain dan Uni Emirat Arab menandatangani perjanjian damai normalisasi diplomatik dengan sejumlah konsekuensi dari Amerika dan Israel, pada 15/9/2020.
Begitu pula halnya dengan Mesir, Yordania dan Turki yang menjalin hubungan diplomatik. Sungguh ini adalah fakta menyakitkan, penuh dengan retorika bohong dan penghianatan terhadap umat. Bahkan ide brilyan mereka adalah two state solution, solusi dua negara bangsa, yaitu memberi tempat pada penjajajah.
Padahal jelas kedudukan Israel adalah penjajah, Zionis yang merebut Palestina. Tidak ada perdamaian dengan penjajah atau perampok. Pada Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 antara Inggris dan Prancis, wilayah Khilafah Utsmaniyah dibagi, Prancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sedangkan Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Yordania.
Status Palestina adalah wilayah internasional. Tapi pada Deklarasi Balfour pada 1917, menjanjikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina. Sejak 1948 diberikan pada Israel, wilayah internasional semakin menyusut, penjajahan pun semakin jadi. Kejahatan yang banyak telah dilakukan Israel sejak 14/5/48 yang dikenal Hari Nakbah, menjadikan Palestina masuk ke dalam masa konflik penjajahan yang sangat panjang.