Siapa yang Sungguh-Sungguh bersama Palestina?
Konflik Israel-Palestina belum juga berakhir, meski bertahun-tahun muslim Palestina telah menelan pahitnya penderitaan atas berbagai kedzaliman yang menimpa mereka.
Ramadhan dan momen lebaran yang harusnya disambut suka cita oleh seluruh kaum muslimin di berbagai belahan dunia pun tak jauh berbeda bagi Palestina. Lagi dan lagi, Palestina dirundung duka.
Selama 11 hari lamanya Palestina digempur dengan serangan udara dan penembakan artileri dari musuh Allah ﷻ Zionis Yahudi. Berbagai serangan brutal ini mengakibatkan hancurnya hampir 17.000 rumah dan bangunan bisnis, 53 sekolah, enam rumah sakit, empat masjid, dan 50 persen infrastruktur pasokan air Gaza. Selain itu, serangan Israel menewaskan sedikitnya 248 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak, sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (23/5/2021).
Dunia seolah bisu, diam seribu bahasa atas penindasan dan pembantaian menahun pada kaum muslimin. Bahkan negeri kita yang mayoritas muslim tak bisa berbuat apa-apa. Hanya kecaman yang terlontar dari negeri-negeri Arab, Turki, juga RI (Detik.com 10/5/2021).
Baca juga:
Hanya inilah yang mampu dilakukan, mengecam dan mengecam. Selebihnya kita hanya bisa memberi bantuan pangan, obat-obatan, selimut, dan pakaian. Namun apakah itu cukup? Apakah mampu menjadi solusi atas problema yang dihadapi? Sayangnya, tidaklah demikian.
Kaum muslimin yang dulunya berada dalam satu naungan kepemimpinan dunia Islam global, kini terpecah menjadi lebih dari 50 negara kecil. Tersekat atas batas-batas teritorial yang telah ditetapkan penjajah. Nation state, inilah yang menjadi penghalang bagi kaun muslimin satu dengan yang lainnya untuk menjadi satu tubuh sebagaimana yang disabdakan beliau ﷺ.
“Perumpamaan kaum muslimin dalam urusan kasih sayang dan tolong-menolong bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan (merasa) panas.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hari ini kita dapati kaum muslimin terjerat hukum internasional yang mana mereka tak lagi bisa mengurusi urusan kaum muslimin di negeri yang lain. Terpetak dalam urusan dalam negeri kononnya. Lantas wajar kiranya jika muncul pertanyaan, “Siapa yang sungguh bersama Palestina?” Negara yang tak hanya mengeluarkan kecaman dan pidato pembelaan, namun juga melakukan aksi nyata.
Jika kita menengok sejarah peradaban Islam. Tentu masih terpatri kuat dalam ingatan kita, bagaimana singa terakhir kaum muslimin, Sultan Abdul Hamid II, menolak mentah-mentah proposal licik dedengkot Zionis Yahudi Theodor Herzl yang diajukan padanya. Proposal itu tidak lain bertujuan untuk meminta sepetak tanah di Palestina dengan sejumlah uang sebagai gantinya.
Sultan Abdul Hamid dengan tegasnya menjalankan tugas kekhilafahan sebagai al-junnah, perisai, yang melindungi tidak hanya tanah Palestina tapi juga seluruh wilayah kaum muslimin. Dengan lantang sang khalifah menegaskan bahwa ia tak akan pernah menjual sejengkal bahkan segenggam tanah Palestina, sebab itu adalah milik kaum muslimin. Atau jika Khilafah runtuh, maka niscaya mereka Yahudi bisa mengambil tanah itu tanpa harus membayar sepeserpun. Hingga akhirnya, analisa politiknya sungguh menjadi kenyataan. Ketika Khilafah runtuh, Zionis Yahudi bahkan tak perlu membayar sepeserpun untuk bisa merenggut kadaulatan Palestina. Dan itulah yang terjadi hingga sekarang.
Ketika kini perisai itu tidak lagi kita dapati adanya. Maka sudah menjadi kewajiban bagi seiapa saja yang mengaku bersama Palestina untuk memperjuangkan penegakannnya kembali. Jika kita sungguh bersama Palestina, sudah semestinya kita ikut andil dalam perjuangan menegakkan kembali perisai umat, Khilafah Islamiyah. Hanya dengannyalah perlindungan hakiki bagi seluruh kaum muslimin bisa terwujud. Tanpanya, adalah mustahil memimpikan kehidupan yang damai, aman dan tentram bagi umat ini. Ia akan senantiasa menjadi santapan empuk bagi negara kafir penjajah sebagaimana yang beliau ﷺ gambarkan:
“Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).
Wahai saudaraku, mari tentukan langkah dari sekarang, berada dipihak manakah kita? Golongan yang mengambil jalan para pejuang Islam sebagaimana jalan yang ditempuh oleh para Nabi dan Rasul? Ataukah hanya berdiam diri menyaksikan pergulatan antara haq dan bathil bahkan membela yang bathil? Pilihan ada di tangan kita. Dan sungguh, kemenangan itu telah nyata adanya. Hadanallahu waiyyakum.
Muntik A. Hidayah, Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi