BIN Kembali Menakut-nakuti Rakyat dengan Radikalisme
Deputi VII Badan Intelijen Negara, Wawan Hari Purwanto, menyatakan, 85 persen generasi milenial di Indonesia rentan terpapar radikalisme. Menurut Wawan, 85 persen anak muda ini bisa terjerat paham radikal yang saat ini justru banyak tersebar melalui media sosial.
Media sosial kata Wawan memang telah dianggap menjadi salah satu inkubator radikalisme. Khususnya, radikalisme yang menyasar kaum muda, baik kaum muda intelektual maupun kaum muda biasa.
Ia berharap kondisi ini bisa menjadi perhatian semua pihak. Ia mengatakan angka 85 persen ini bukan angka yang sedikit. Apalagi Indonesia juga akan menghadapi bonus demografi yang tentunya sangat berbahaya jika paham-paham radikalisme itu justru menggerogoti milenial yang menjadi salah satu bagian dari bonus demografi tersebut.
“Kondisi ini patut menjadi perhatian bersama mengingat indonesia sedang menghadapi bonus demografi. Ini menjadi sebuah pedang bermata dua jika kita tidak pandai menatanya,” kata Wawan (15/6), sebagaimana dikutip cnnindonesia.com.
Radikal Senjata Ampuh Singkirkan Lawan
Tahun 2009, di Departemen Agama pernah dilangsungkan diskusi tentang Radikal dan Moderat. Diskusi ini membedah buku “Siapakah Muslim Moderat?” Buku ini kumpulan karya intelektual-intelektual ternama, diantaranya John L Esposito, Yvonne Yazbeck Haddad dan beberapa intelektual lainnya.
Menariknya dalam buku itu, di cover depannya ditulis judul kecil: “Mengapa Islam Moderat Diperdebatkan? Demi Islam atau Demi Barat? Apa Implikasinya Bagi Perang Melawan Muslim Radikal?”
Muqtader Khan dalam buku itu menyatakan bahwa media Amerika menggunakan istilah Muslim Moderat untuk Muslim yang pro Barat dalam politiknya atau juga untuk Muslim yang selalu kritis terhadap cara pandang mereka…Bagi Muslim Moderat ijtihad merupakan pilihan cara yang lebih disukai untuk perubahan sosial dan politik dan jihad dengan senjata adalah pilihan terakhir. Bagi Muslim Militan (radikal -pen), jihad bersenjata adalah pilihan pertama dan ijtihad bukan termasuk sebuah opsi.
Yvonne Yazbeck Haddad, intelektual Amerika ini meneropong kebijakan Presiden Bush paska tragedi WTC 2001. “Salah satu langkah yang diadopsi pemerintahan Bush yang juga diinterpretasi sebagai perang melawan Islam yaitu pengawasan agen CIA di kedutaan-kedutaan Amerika di luar negeri akan buku-buku yang berisi anti Barat, anti Amerika atau anti Israel. Hal ini telah menimbulkan kemarahan sebagian Muslim yang menganggap Bush bertindak seperti seorang mufti, yang menfatwakan mana Islam yang sesungguhnya. Wajih Abu Zikri ketika menulis di Al Akhbar terbitan Kairo, menulis bahwa Presiden Bush mengirim pesan pribadi kepada Ulama Islam termasuk Syekh Yusuf al Qardhawi untuk menyuruh mereka ‘menghapus ayat-ayat Al-Qur’an yang menurut Bush tidak pas’.
Dia melanjutkan,’Presiden Bush memacu terus perang salibnya, beranggapan bahwa pendidikan Islam harus dihentikan. Agama Islam harus dihapuskan dari kurikulum sekolah. Madrasah-madrasah harus sirna di atas bumi dan ayat-ayat Al-Qur’an yang menurutnya memuat pertahanan harga diri Muslim dengan qishash (membalas dengan perbuatan setimpal seperti yang dilakukan terhadap saudara Muslimnya) harus dihapus. Bush ingin mengajar anak kita menawarkan pipinya yang lain (kalau pipi yang satu dipukul), dan membibarkan puggungnya ditendang semaunya.”
Daniel Pipes dalam Jewish World Review (diungkap Yvonne Yazbeck), membedakan antara moderasi yang sungguh-sungguh dan moderasi yang palsu. Bagi Pipes, Muslim yang mengaku moderat, perlu ditanya pandangan tentang apakah perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki (dalam hal warisan dan kesaksian di pengadilan)? Apakah jihad sebagai suatu bentuk peperangan, masih diterima sekarang ini? Apakah anda menerima keabsahan agama lain? Apakah Muslim perlu belajar dari Barat? Bolehkah Muslim berpindah agama? Bolehkah perempuan Muslimah mengawini laki-laki non Muslim? Apakah Anda menerima hukum suatu pemerintah yang mayoritas non Muslim dan bersedia sepenuhnya taat pada pemerintah tersebut? Apakah seharusnya pemerintah mencampuri urusan keagamaan, seperti berjualan makanan di bulan Ramadhan? Ketika ada pertentangan antara aturan Islam dan sekuler (seperti menutup wajah pada foto SIM), manakah yang didulukan? Pipes dikenal sebagai cendekiawan anti Islam di AS.
Begitu problematisnya istilah radikal dan moderat ini, maka Prof John L Esposito, Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown Amerika Serikat menyatakan,n”Isu radikalisme agama merupakan taman bermain bagi intelijen dan ini membahayakan masa depan agama.”