Menangkap Pesan Politik pada Fase Dakwah Makkah dan Madinah
Politik dalam sejarah telah menjadi sub tema yang menarik dibahas dan memang di awal hijrah Nabi telah mencontohkan bagaimana sikap seorang muslim terhadap kekuasaan.
Hal itu menjadi fase di mana sebagian kalangan muslim membenarkan bahwa politik dan agama adalah dua hal bertautan serta urgen. Namun di lain sisi juga memiliki problem setidaknya kalau fase itu dipahami secara mentah.
Dua Strategi Dakwah
Kalau kita simak sirah bahwa sejujurnya ada dua fase perjuangan Nabi, yang pertama fase Makkah dan Madinah. Dua fase bagaimana cara dan strategi dakwah yang dilakukan nabi pun berbeda. Hal ini bisa menjadi gambaran sikap dan pribadi yang cerdas, cekatan, dan peka terhadap keadaan.
Sebuah langkah besar akan sia-sia dan gagal tanpa ada perhitungan yang cerdas. Seperti yang kita tahu perlu pendekatan yang prima, bagaimana seharusnya mendobrak kebiasaan yang terlanjur ada dan tumbuh di masyarakat.
Apalagi budaya bebas dan paganisme amat kental di abad jahiliyiah kala itu. Ditopang ekonomi yang mapan. Tanpa strategi yang cerdas mana mungkin dakwah bisa didengarkan. Ini pula bisa jadi sanggahan untuk orang yang salah memahami bahwa Nabi itu “ummi”. Sebab artinya Ummi bukan berati nabi awam– atau bahasa kasarnya bodoh.
Seperti yang dikatakan Cak Nun bahwa Ummi di sana berarti nabi itu paham dan pintar hanya saja tidak secara teoritial, karena seperti yang kita tahu di zaman itu kecerdasan bukan diukur dari individu bisa membaca dan menulis tetapi ukurannya daya hafalan. Daya seni dan sastra Arab amat tinggi serta dikenal. Pantaslah kita sebagai Muslim diwajibkan untuk beriman bahwa nabi memiliki empat sifat: sidiq, amanah, tablig, dan fatanah. Fatanah artinya pintar, cerdas lagi tahu. Tentu kontradiktif kalau Ummi diartikan awam.
Strategi di Makkah
Di Makkah pun Nabi menggunakan dua strategi yakni tersembunyi dan terang-terangan. Hal itu dilakukan karena memang kondisi belum memungkinkan dan demi keselamatan. Seperti yang kita tahu bagaimana sikap dan teror yang ekstrem nan kejam kafir Quraysi pada Ummat yang baru tumbuh.
Fase sembunyi dilakukan karena yang masuk Islam masih sedikit dan rata-rata dari kelas ekonomi yang lemah, dan itu menjadi ancaman serius. Sejarah mencatar bagaimana kejamnya mereka terhadap Bilal yang dipanggang di tengah sorot matahari padang pasir dengan batu besar menindihnya. Tak cukup di situ, siksaan itu pun terus dilakukan dengan intesitas yang mengerikan. Atau siksaan pada keluarga Yasir sampai gugur di medan ujian. Hal yang mengerikan dan amat kejam dilakukan kafir Quraiys kepada istrinya Sumayyah dengan menancapkan tombak kepada vagina sampai tembus, hingga ajal pun menjemputnya. Tercatat Sumayyah adalah wanita pertama yang gugur di medan juang karena mempertahankan keimanannya. Sampai Nabi dibuat menangis, “jannah balasannya untuk kalian,” sabdanya. Betapa berat ujian iman saat itu, tak hanya teror tapi nyawa jadi taruhan akan sebuah keyakinan.
Strategi dakwah terang-terangan baru nabi lakukan ketika yakin bahwa Ummat dirasa sudah kuat dan jumlahnya makin banyak. Tak ada yang harus diragukan. Momentumnya saat jawara Quraisy yang terkenal gagah lagi vokal membela agama nenek moyangnya masuk Islam. Itulah Umar Ibnu Khattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib– salah seorang paman Nabi. Kabarnya, masuk Islamnya Umar karena doa Nabi yang berharap agar Islam diperkuat oleh dua Umar. Yakni Umar bin khattab dan Umar bin Hisyam (Abu Jahal).
Momen pasca masuk Islamnya Umar pun amat unik. Tanpa rasa takut Umar langsung mengetuk petinggi Makkah dan mengabarkan keislamannya. Padahal Islam penuh teror dan ancaman. Inilah cikal bakal kebangkitan Islam dari fase yang pertama menuju selanjutnya terbuka lagi dinamis. Peta selanjutnya Islam mulai menjadi promotor perubahan. Makkah menjadi lanscap menuju sejarah Islam yang menggembirkan. Gemblengan Nabi pada nantinya berhasil menciptakn kader dakwah militan.