Inilah Hasil Penelitian dan Rekomendasi Tim Peneliti DDII tentang Baha’i
Jakarta (SI Online) – Tim Peneliti Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang ditugaskan untuk meneliti tentang Baha’i telah menyelesaikan tugasnya. Tim yang dipimpin Dr. Taufik Hidayat, MA., itu telah menghasilkan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi.
Tim yang diketuai Taufik itu beranggotakan tiga orang, yakni Drs. KH. Syamsul Bahri Ismail, M.H., KH. Teten Romly Qomaruddien, M.A., dan Hadi Nur Ramadhan, M.A.
“Tim Peneliti Baha’i – DDII menemukan fakta bahwa organisasi Baha’i pernah dilarang oleh Perdana Menteri Djuanda melalui Surat Perdana Menteri Nomor 122/P.M/1959 tanggal 21 Maret 1959 karena praktik ajarannya dapat memecah belah dan menganggu ketenteraman umum dan dikuatkan oleh Presiden Soekarno melalui Keppres nomor 264 tahun 1962 karena Baha’i tidak sesuai kepribadian bangsa Indonesia dan bagian dari kepanjangan tangan imperialisme,” demikian bunyi kesimpulan Tim Peneliti Baha’i – DDII secara tertulis, Selasa, 3 Agustus 2021.
Selanjutnya, Tim Peneliti juga menyimpulkan, pengikut Baha’i terindikasi kuat menodai atau menista agama Islam dan melanggar UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Tim Peneliti lalu menyuguhkan sejumlah fakta yang menunjukkan indikasi kuat bahwa Baha’i adalah aliran yang menyimpang dari ajaran Islam dan telah memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 UU No 1/PNPS/1965.
Pertama, pendiri Baha’i mengaku sebagai Nabi dan pengikutnya juga mengakuinya sebagai Nabi, setelah Nabi Muhammad Saw. Pendiri Baha’i, Husein Ali al-Mazandarani atau digelari “Bahaaullah”, yang sebelumnya adalah pengikut/penganut Mirza Ali Bin Muhammad as-Syairazi atau digelari “Baabullah” (menurut Sayyid Muhibuddin al-Khatib dalam Al- Bahaiyyah: tanpa tahun). Salah satu ajaran pokok dalam Islam adalah, bahwa tidak ada lagi nabi/utusan Allah SWT, setelah Nabi Muhammad Saw.
Kedua, Husein Ali al-Mazandarani (Bahaaullah) menyatakan dirinya lebih baik dari Nabi Muhammad Saw. (Miftaahu Baabil Abwaab, hal. 20) padahal menurut Islam tidak ada manusia yang paling baik/bertakwa/beriman di muka bumi selain Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, Husein Ali al-Mazandarani (Bahaaullah) menyatakan kitab Al-Aqdas (kitab sucinya Baha’i) lebih baik daripada kita suci Al-Qur’an (Miftaahu Baabil Abwaab, hal. 20) padahal menurut agama Islam, Al-Qur’an adalah kitab suci terbaik dan terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, sebagai pedoman umat manusia hingga akhir zaman dan penghapus syariat yang datang sebelumnya.
Keempat, Husein Ali al-Mazandarani (Bahaaullah) menyatakan hukum-hukum Al-Qur’an sudah dibatalkan dengan adanya kitab suci Al-Bayan milik Baha’i (Baha’i: hal. 88).
Kelima, dalam kitab-kitab yang diterbitkan oleh Baha’i International Community (BIC) sering mengutip ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw, kemudian dicampuradukkan dengan kutipan dari teks teks agama lain dalam doa-doa bersama yang dibacakan oleh BIC dalam berbagai acara sehingga berpotensi merubah makna yang dimaksud dalam ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw.
Keenam, dalam kitab-kitab yang diterbitkan oleh Baha’i International Community (BIC) banyak penyimpangan ajaran Islam yang disengaja untuk merusak agama Islam seperti penyimpangan pokok pokok Akidah, menafsirkan dan menakwil ayat ayat Al-Qur’an di luar dari tradisi yang berlaku dalam ajaran agama Islam sehingga menyimpangkan makna sebenarnya dan berpotensi menyesatkan pemahaman umat Islam yang masih awam termasuk memodifikasi berbagai syariat Islam sehingga tampak “seolah-olah” ajaran dari Islam misalnya pelaksanaan puasa 19 hari, melaksanakan Shalat dengan tata cara yang berbeda, memodifikasi batasan-batasan dalam hukum Islam dll. (Syekh Muhammad Khudr Hussein dalam Rasail Al-Ishlah, hal. 188).
Ketujuh, Fatwa Majma’ Fikih Al-Islami nomor 1070 tanggal 31 Maret 1987 menyimpulkan bahwa Baha’i merusak sendi-sendi ajaran Islam dan menyatakan perang terhadap syariat Islam.