Pilkada Serentak, Pengikut Samin Bojonegoro Pilih Golput
Bojonegoro (SI Online) – Warga masyarakat yang menyebut diri sebagai pemegang trah Samin Soerosentiko di dusun Jepang, Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak yang dilaksanakan Rabu 27 Juni 2018 memastikan memilih untuk tidak memilih alias golput.
Adalah Hardjo Kardi (84 tahun), warga Dusun Jepang sebagai pemegang terakhir Trah Samin Soerosentiko, saat ditemui wartawan memastikan memilih untuk tidak menggunakan hak memilih dalam pilkada di wilayah kabupaten ini yang diikuti empat pasangan calon.
Dalihnya sederhana; “Saya memilih tidak menggunakan hal memilih saya, karena ke empat pasangan calon mendatangi saya. Semuanya pasangan calon minta didoakan. Mereka sudah didoakan dapat ikut pilkada. Tetapi, soal kemenangan, bergantung pada warga masyarakat pemilih,” kata Hardjo Kardi.
Apakah juga tidak memilih pasangan calon yang sudah menggelar pertunjukkan wayang kulit di Dusun Jepang? Disamping apakah tidak mengindahkan anjuran jajaran KPU, yang secara khusus mendorong penggunaan hak untuk mencoblos.
“Kalau kami mencoblos, berarti menjatuhkan pilihan pada salah satu pasangan calon. Maka hal demikian akan melukai tiga pasangan calon lain. Padahal ke empat pasangan calon telah secara khusus meminta doa restu. Kalau memang mencoblos kesemuanya boleh, akan kami coblos semua. Tapi yang demikian tidak syah,” paparnya.
Lain halnya dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, yang diselenggarakan bersamaan dengan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Hardjo Kardi tegas mengungkap, hendak menggunakan hak pilihnya untuk memilih salah satu dari dua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalihnya juga sederhana, karena kedua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur ini, tidak ada yang mendatanginya untuk secara khusus memohon doa restu.
Paseduluran Sikep
Julukan Samin , diarahkan kepada orang-orang yang mnengikuti ajaran yang dikembangkan oleh Samin Soerosentiko di sekitar wilayah Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sebuah wilayah yang tidak jauh dengan perbatasan dengan wilayah Kabupaten Bojonegoro. Ajaran yang dikembangkan oleh Surosentiko adalah sebuah pembangkangan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Mereka menyebut dirinya bukan sebagai Samin, melainkan Paseduluran Sikep. Mereka, terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, sama sekali tidak mengembangkan perlawan dengan kekerasan fisik. Namun saat menerima perintah dari Pemerintah Kolonial Belanda, mereka keras kepala, dengan menyodorkan alasan-alasan yang sangat menjengkelkan, yang berujung pada penolakan.
Diantaranya ketika mereka menolak membayar pajak atas tanah. Saat disebut sebagai menunggak pembayaran pajak, mereka menolak dengan menyebut sebagai tidak memiliki hutang kepada Pemerintah. Selain itu, menyebut tanah sawah yang digarapnya, juga yang menjadi tempat tinggalnya, merupakan anugerah dari Tuhan, bukan berasal dari pemberian Pemerintah. “Wong Sikep tak mengenal pajak. Pajak itu apa ?” demikian jawab mereka, saat didatangi petugas kepanjangan tangan kolonial Belanda.
Dikutip dari sejumlah tulisan terungkap, saat ndonesia merdeka, warga pemegang trah Samin ini terlambat mendapat khabar tentang kemerdekaan itu. Namun ketika di tahun 1963-an ada beberapa warga pengikut ajaran Samin di wilayah Pemangkuan Hutan di Bojonegoro yang tertangkap akibat mencuri kayu jati di hutan, mereka pun memprotes penangkapan itu.. “Mengapa ditangkap, khabarnya negeri ini sudah merdeka. Mengapa mengambil kayu jati mesti ditangkap,” protes mereka. Terdapat sebuah penuturan yang menyebut, protes tersebut dibawa olrh sejumlah warga trah Samin ke Yogyakarta, dan disampaikan hingga ke Presiden Soekarno.
Ditemukan pula catatan ditulis Paulus Widiyanto bertitel “Samin Soerosentiko dan Konteksnya” di jurnal Prisma (8/8/1983). Sedulur Sikep, yang kemudian disebut Samin, ternyata sangat dicintai oleh dokter Soetomo pendiri Boedi Oetomo. Dokter Soetomo tercatat, hingga tahun 1917-an pernah mengabdikan diri sebagai dokter rumah sakit Zending di Kabupeten Blora-Jawa Tengah.
Di sebut di bagian atas tulisan ini, bahwa sebutan Samin, berasal dari nama Samin Soerosentiko, yang pernah hidup di wilayah Randublatung. Ayahandanya adalah Raden Soerowidjoyo, priyayi rendah asal Kabupeten Bojonegoro. Samin Soerosentiko ketika lahir dalam tahun 1859 di Desa Ploso Kediren, Randublatung, bernama Raden Kohar, yang ada pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajekwesi, Bojonegoro. Raden Kohar sejak muda bertani dengan sawah cukup luas—-lebih dua hektar. Juga memiliki perladangan (tanah kering) cukup luas sekitar seper lima hektar, ditambah memiliki sapi enam ekor sebagai alat kerja—lengkaplah sebagai status symbol; menunjukkan orang yang berkecukupan.
Merasa agar lebih merakyat, membuang identitas priyayi dan keningratannya, Raden Kohar menganti namanya menjadi Samin Soerosentiko. Mengganti nama ketika itu, memang banyak dilakukan. Seperti Raden Mas Suwardi Suryaningrat kemudian berganti menjadi Ki Hajar Dewantara.
Setelah bernama Samin Soerosentiko, pada tahun 1890, mulai mengembangkan ajaran di Desa Klopodhuwur dan Desa Tapelan. Banyak orang terpengaruh ajaran Samin Soerosentiko. Pemerintah kolonial Belanda, semula tak mempedulikan. Hingga awal 1903 pengikut Samin Soerosentiko semakin berkembang di 34 desa dengan pengikut sudah lebih seribu orang, Pemerintah Kolonial Belanda tetap menganggap bukan sebagai ancaman yang berarti di kawasan Karesidenan Rembang.
Catatan lain mengungkap, baru sekitar tahun 1905, pemerintah kolonial mulai memberikan perhatian serius kepada pengembangan ajaran ini. Terutama setelah mendapat laporan yang menyebut para pengikut ajaran Samin membandel atau bahkan membangkang, tidak sudi membayar pajak. Saat itu, jumlah pengikutnya ajaran ini terus bertambah. Tercatat hingga tahun 1907, sudah mencapai 5.000 orang.
Belakngan muncul khabar pengikut Samin Soerosentiko tidak saja membangkang, melainkan juga hendak melakukan pemberontakan. Karenanya, dalam bulan Maret 1907, para pengikut Samin Soerosentiko yang hadir di acara syukuran keberhasilan panen di desa Kedhung Tuban ditangkap. Namun pengikut Samin Soerosentiko seperti pantang menyerah. Bahkan dipenghujung tahun 1907 itu, pengikutnya mengangkat Samin Soerosentiko sebagai Ratu Adil bergelar Prabu Pangeran Soerjongalam.
Citra buruk
Aparat Kolonial Belanda dari kalangan pribumi khawatir. Raden Pragola, Asisten Wedana di Randublatung Kabupaten Blora pada Desember 1907 menangkap Ratu Adil Parbu Pangeran Soerjongalam. Kemudian dikurung di bekas tungku pembakaran batu gamping dan selanjutnya dibawa ke Rembang untuk diperiksa. Bersama pengikutnya yang tertangkap, Samin Soerosentiko akhirnya dibuang ke Padang, Sumatra Barat. Setelah pernangkapan itu, pengembangan ajaran pembangkangan ala Samin Soerosentiko ini bukannya berhenti. Melainkan justru berkembang dan semakin meluas ke arah wilayah Kabupaten Bojonegoro. Aparat Kolonial Belanda dari kalangan pribumi, juga terus melakukan penangkapan. Tercatat hingga tahun 1908, Wongsorejo, penganjur ajaran Samin Soerosentiko juga ditangkap dan kemudian ikut dibuang..
Menghadapi sanksi yang demikian berat, yaitu pembuangan, namun para penerus pengajur ajaran Samin Soerosentiko tidaklah habis dan tidak juga berhenrti. Di kawasan Randublatun, Rembang Jawa Tengah ada Soerohidin, yang tetap gigih mengembangkan pembangkangan. Demikian halnya dengan Engkrah, murid Samin Soerosentiko yang terkenal, tetap pula gigih mengembangkan ajaran Samin di wilayah Grobogan, Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah. Saat kemudian terdengar kabar Samin Soerosentiko dalam tahun 1914 meninggal dunia, aksi menolak membayar pajak semakin hebat.
Pada perkembangan kemudian bahkan hingga kini, sebutan Samin, sejak lama terlanjur dicitrakan sebagai orang dengan perangai buruk; membangkang dan semau sendiri. Pengikut-pengikut, yang disebut sebagai orang Samin, masih banyak yang hidup. Mereka dan sangat tidak suka jika dipaksa oleh pihak manapun. Senyatnya, pengikut ajaran Samin, merupakan orang berkemauan keras. Pengikut ajaran ini sebagian besar adalah petani, dengan sawah dan tanah perladangan, mereka jaga dan bela, dari segala bentuk gangguan oleh pihak manapun.
Rep: Muhammad Halwan/ dari berbagai sumber