PKI yang Selalu Membuat Kacau Negeri Ini
Seiring dengan bergulirnya demokrasi terpimpin tahun 1959, pelan tapi pasti Partai Komunis Indonesia (PKI) akhirnya memang mampu menjadi partai politik yang ditakuti lawan. Apalagi PKI kian agresif melakukan build up mental simpatisan, sekaligus memperhebat persatuan dan aksi massa mengganyang kapitalis birokrat, pencoleng dan koruptor melawan tuan tuan tanah jahat dan imperialisme AS.
Lebih hebat lagi PKI akhirnya berani menyerang Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Padahal seorang anggota BPS, wartawan dan tokoh kemerdekaan Sayuti Malik, misalnya justru berusaha menggali lagi ajaran Soekarnoisme dalam rangkaian tulisan di beberapa surat kabar. PKI ternyata tidak senang karena BPS dianggap anti PKI. Anehnya BPS akhirnya dilarang justru atas perintah Soekarno. Menteri Penerangan Achmadi pun mencabut izin terbit 21 harian dan mingguan yang menjadi anggota BPS.
Jika BPS yang pro Soekarno saja akhirnya dibredel akibat tuduhan anti PKI, maka kelompok anti PKI yang tidak pro Soekarno tentu mengalami peristiwa lebih tragis, seperti dialami Masyumi.
Rezim demokrasi terpimpin menggelorakan politik anti Barat dan logika revolusioner. Hanya saja realitas politik itu akhirnya menjadi sangat sangat problematik ketika saat itu PKI disatulinikan dengan membangun jargon-jargon kebencian kepada sesama anak bangsa, khususnya kepada kaum agama. Target pertama dari agitasi PKI terhadap kelompok yang disebut kontra revolusi itu adalah kaum santri dari partai-partai yang mewakilinya, seperti: Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Semula konsentrasi PKI diarahkan pada Masyumi, sebab partai ini kebetulan juga berseberangan dengan Soekarno, sehingga lebih mudah jadi sasaran tembak. PKI mempopulerkan sebutan Masyumi sebagai golongan kepala batu yang berbahaya. Oleh Soekarno Masyumi dinilai kontra revolusi dan oleh sebab itu partai ini dibubarkan berdasar Keppres No. 200/1960, pada 17 Agustus 1960.
Setelah Masyumi dikorbankan demi revolusi, maka satu musuh terbesar telah tumbang, sehingga peta politik utama tinggal memperhadapkan PKI vs NU. Bagi NU, situasi ini sangat mengkhawatirkan karena harus sendiri menghadapi PKI meskipun sedikit dibantu partai kecil semisal PSII dan Perti. Padahal kondisi pasca bubarnya Masyumi telah membuka peluang bagi PKI untuk berperan besar dalam pemerintahan. Artinya masuknya PKI dalam Kabinet sudah tak terbendung lagi. Terbukti dalam Kabinet Kerja II 1962, DN Aidit menjadi Wakil Ketua MPRS dan Lukman sebagai Wakil Ketua DPRGR dengan kedudukan sebagai menteri. PKI pun makin intensif mengadakan berbagai pertemuan besar, memobilisasi massa sekaligus show of force, memanaskan kampanye politik melalui berbagai slogan, serta memilitansi simpatisan dengan menjadikan “Genjer-Genjer” sebagai lagu andalannya.
Buku “Politik Kaum Santri dan Abangan; Refleksi Historis Perseteruan NU-PKI” karya peneliti LIPI Dhurorudin Mashad ini memang menarik untuk ditelaah. Dhurorudin banyak menampilkan fakta-fakta sejarah yang patut disimak oleh generasi muda saat ini.
“Peristiwa sejarah itu kini terulang kembali,” kata peneliti LIPI itu dalam bedah bukunya, Rabu kemarin (11/8/2021). Ia menyatakan bahwa dulu PKI memusuhi agama, kini kaum agama juga dimusuhi. Dulu Masyumi dianggap kepala batu, sekarang kelompok Islam dianggap radikal.
Jadi, setelah Masyumi bubar, fokus penyerangan PKI diarahkan pada NU. Hal ini bukan saja dilakukan pengurus level lokal, tetapi bahkan oleh pemimpin PKI level puncak. Dewan Pertimbangan Agung misalnya, lembaga yang idealnya diisi figur yang telah matang secara emosi, namun Ketua CC PKI DN Aidit justru menggunakannya sebagai forum untuk menyerang lawan politiknya. Seperti dilakukannya kepada Menteri Agama asal NU, Kiai Syaifuddin Zuhri yang digugat karena mengharamkan umat Islam memakan daging tikus.
PKI Setelah 1948
Pemberontakan PKI Madiun memang berhasil digagalkan (diumumkan resmi melalui RRI, 30 September 1948), namun partai ini tidak dilarang bahkan akhirnya diberikan amnesti. Hanya pimpinan teras PKI yang ditangkap, diadili dan sebagian dibunuh. Setelah keadaan dipulihkan, pengejaran terhadap PKI dihentikan, karena beberapa alasan:
a. Kekuatan PKI telah sedemikian menyebar meliputi Jawa Timur dan Jawa Tengah, sehingga meskipun PKI hanya menguasai keadaan sekitar 13 hari (Revolusi Madiun), namun korban nyawa dan harta luar biasa besar.
b. Negara juga dihadapkan pada Agresi Belanda ke II, sehingga tentara perlu menghemat tenaga untuk menghadapi Belanda.
c. Untuk menjaga keutuhan pasukan dan persatuan, pemerintah mengambil sikap tak melakukan pengejaran secara tuntas. Pemerintah justru menawarkan amnesti bagi para pemberontak yang mau kembali ke pangkuan NKRI.