Komnas HAM Sebut 11 Poin Dugaan Pelanggaran HAM dalam TWK di KPK
Jakarta (SI Online) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI memaparkan 11 poin dugaan pelanggaran HAM dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).
“Pertama, mengenai hak atas keadilan dan kepastian hukum,” kata anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Senin, 16 Agustus 2021.
Kedua, terkait dengan hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi ras dan etnis, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, serta hak atas informasi publik.
Seterusnya, lanjut dia, Komnas HAM juga menemukan dugaan pelanggaran hak atas privasi, hak berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, serta hak kebebasan berpendapat.
Anam menyebutkan keseluruhan konstruksi peristiwa penyelenggaraan asesmen atau penilaian tes wawasan kebangsaan merupakan pelanggaran HAM.
Ditinjau dari sisi kebijakan, tindakan dan perlakuan maupun ucapan, baik pertanyaan maupun pernyataan, memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.
Dalam kesempatan itu, Anam juga mencontohkan dugaan kuat pelanggaran HAM proses alih status pegawai KPK, yakni adanya stigmatisasi atau pelabelan Taliban kepada sejumlah pegawai. Padahal, pelabelan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik secara hukum maupun faktual.
Terkait dengan pelaksanaan teknis asesmen tes wawasan kebangsaan, kata Anam, juga tanpa dasar hukum yang jelas dan tepat serta terindikasi melawan hukum.
Kemudian, kerja sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan pihak ketiga, yakni Badan Intelijen Strategis (BAIS), Dinas Psikologi Angkatan Darat, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Intelijen Negara (BIN) juga tidak memiliki dasar hukum.
Menurut Komnas HAM, penyelenggaraan TWK juga tidak hati-hati dan cermat dalam menjalankan aturan yang berlaku serta terjadi pelanggaran kode perilaku asesor.
Selain itu, jenis pertanyaan yang menggunakan indikator merah, kuning, dan hijau merupakan persoalan serius dalam konteks HAM sebab hal itu bernuansa diskriminatif, kebencian, dan merendahkan martabat serta tidak berperspektif gender.