Makna Kemerdekaan yang Hakiki
Agustus merupakan bulan di mana diperingati sebagai bulan kemerdekaan negeri tercinta ini, Indonesia. Tepatnya tanggal 17 Agustus. Bulan ini pun banyak dimeriahkan oleh penduduk negeri ini dengan berbagai perlombaan atau sekadar memasang bendera merah putih dan berbagai jenis lainnya. Namun di balik kemeriahan tersebut, ada kenyataan pahit yang ditanggung negeri ini.
Sebagaimana Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri per akhir Mei 2021 adalah US$ 415 miliar. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.503, maka jumlah itu adalah Rp6.018.74 triliun (Cnbcindonesia.com, 16/07/2021).
Jumlah utang yang dimiliki negeri ini tentu tak dapat dikatakan baik-baik saja. Sebab, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menyoroti tingginya tingkat utang pemerintah tersebut. Sebagaimana Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan bahwa pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini sudah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pun hal tersebut memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunga utang (Kompas.com, 27/06/2021).
Itu baru terkait masalah utang, tentu masih banyak lagi persoalan lain yang dihadapi negeri tercinta ini. Miris!
Adapun jika menilik bahaya utang luar negeri di antaranya, yaitu: utang luar negeri dalam rangka mendanai proyek-proyek milik negara merupakan perkara yang riskan, terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Pun pemberian utang merupakan salah satu cara agar negara pengutang tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang semakin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu.
Selain itu, utang luar negeri yang diberikan sebenarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis barat kepada negara-negara pengutang yang tak sedikit berasal dari negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap negeri-negeri pengutang (jajahan).
Di samping itu, sesungguhnya utang luar negeri sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan negara pengutang, baik utang jangka pendek maupun jangka panjang.
Karenanya, utang luar negeri yang selangit, sudah cukup menjadi bukti bahwa hal itu merupakan alat penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara jajahan untuk menguasai negeri ini. Hal tersebut pun merupakan bentuk penjajahan gaya baru, yang mana dilakukan secara non fisik. Karenanya sangat dangkal jika memaknai kemerdekaan hanya sebatas terbebas dari penjajahan yang bersifat fisik saja.
Sebab, jika menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna merdeka yaitu bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri. Tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa.
Di sisi lain, saat suatu negeri telah mendapat serangan Neokolonialisme-Imperialisme (Nekolim), tentu tak kalah membahayakan dari serangan fisik, karena hal itu merupakan bentuk penjajahan yang bersifat laten, nyaris tidak tampak secara fisik. Karenanya, secara tidak sadar, negara-negara yang terjajah oleh kaum Nekolim akan mengalami ketergantungan pada mereka, utamanya dalam bidang ekonomi dan akan cukup memberikan pengaruh pada bidang ideologi.
Bentuk konkret dari sistem Nekolim di Indonesia yang lain dapat dilihat dari adanya intervensi ekonomi terhadap negara-negara bekas jajahan melalui pinjaman modal asing, tenaga ahli, dan berbagai bentuk konsesi ekonomi lainnya (Wikipedia.org)
Lantas bagaimanakah kemerdekaan yang sesungguhnya? Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Rib’i bin Amir ra. yang merupakan salah seorang utusan pasukan Islam dalam perang Qadishiyah ditanya tentang perihal kedatangannya oleh Rustum, panglima pasukan Persia, ia menjawab, “Allah mengutus kami (Rasul) untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia kepada manusia menuju penghambaan manusia kepada Rabb manusia, dari sempitnya kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari ketidakadilan agama-agama yang ada kepada keadilan Islam.” (Lihat Al-Jihad Sabiluna hal. 119).