Mengapa Cita-Cita Negara Islami Harus Dihancurkan?
Bagi seorang Muslim yang telah merasakan nikmatnya nilai Islam, maka ia akan berusaha menerapkan Islam itu pada keluarganya. Kemudian pada masyarakatnya, negaranya dan dunia ini. Begitu juga bagi orang kafir atau sekuler. Mereka berusaha untuk menerapkan ide sekulernya dalam dirinya keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan dunia.
Masing-masing menggunakan cara dan strategi. Kaum Muslim, dengan cara dan strateginya, begitu juga kaum sekuler.
Pertarungan ide tentang individu, masyarakat dan negara ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara Mesir, Turki dan berbagai negara Islam lainnya. Di Mesir, kaum sekuler yang diwakili oleh Presiden Al-Sisi kini menguasai negara. Kaum Islamis tersingkir. Bahkan Al-Sisi yang latar belakangnya militer, bertindak kasar dan menyalahi konstitusi terhadap mantan presiden sebelumnya yaitu, Muhammad Mursi. Mursi dikudeta dengan paksa, dipenjara dan meninggal dunia ketika masih dalam status penahanan, Al-Sisi juga terkenal kejam terhadap kaum Islamis. Sehingga lembaga-lembaga hak asasi internasional terus menerus mengecamnya.
Turki, kaum Muslimin di sana kini cukup lega. Tampilnya Erdogan memimpin negara bekas ‘kekhalifahan besar’ itu, membuat umat Islam di sana bernafas segar. Setelah berpuluh tahun jilbab dilarang dan bahasa Arab tidak diajarkan di sekolah, kini Turki pelan-pelan membenahi negara dan pendidikannya. Pendidikan Islam di Turki kini cukup maju dan banyak penduduk negara lain yang ambil pendidikan di sana, termasuk warga Indonesia.
Bagaimana dengan Indonesia? Pertarungan Indonesia menjadi negara sekuler dan menjadi negara Islami berlangsung sejak menjelang kemerdekaan Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, kerajaan-kerajaan Islam menguasai wilayah Nusantara. Maka ribuan pahlawan-pahlawan Islam tampil ketika penjajah kafir Portugis dan Belanda ingin menguasai tanah air.
Beberapa bulan sebelum merdeka, di sidang BPUPKI, PPKI dan Panitia Sembilan yang ‘dipimpin Soekarno’ ide-ide tentang negara itu dirumuskan. Puncaknya adalah peresmian Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945 pada 22 Juni 1945. Sayangnya Soekarno cs kemudian menghapuskan tujuh kata yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh Islam dalam Pembukaan UUD 45 itu (yang di dalamnya terdapat Pancasila). Meski demikian, tokoh-tokoh Islam berhasil memasukkan kata-kata Islami dalam Pancasila. Seperti kata: adil, adab, kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, perwakilan dan keadilan sosial.
Soekarno sendiri tercatat dalam sejarah, seperti menyadari kesalahannya. Bila tahun 1945 ia meniadakan tujuh kata itu, maka pada 5 Juli 1959 -setelah sidang lebih dari dua tahun di Majelis Konstituante- akhirnya Soekarno menerima Piagam Jakarta. Hal itu dilakukan Soekarno karena desakan tokoh-tokoh Islam kepadanya untuk menengahi kubu nasionalis sekuler dan nasionalis Islam dalam pembahasan konstitusi. Sayangnya Soekarno kemudian bertindak otoriter membubarkan Partai Islam Masyumi yang merupakan partai terbesar nomor dua hasil pemilu demokratis 1955.
Maka tidak heran, saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965, Soekarno menyatakan: “Nah Jakarta Charter ini (Piagam Jakarta) saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang…Ditandatangani oleh –saya bacakan ya– Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, 9 orang.”
Hancurkan Cita-Cita
Orang atau kelompok manusia yang tidak mempunyai cita-cita adalah seperti zombie. Ia hidup, tapi hidupnya lebih banyak menyusahkan orang lain. Ia hidup tidak punya arah. Maka tidak heran, bila seorang guru pintar mengajar yang pertama kali ditanyakan kepada muridnya adalah soal cita-cita.
Ketika dewasa, maka seseorang akan mulai mendefinisikan cita-cita untuk dirinya, keluarganya, masyarakat, negara dan dunia ini. Ia mulai berfikir bagaimana mewujudkan cita-cita itu. Ia mulai melihat potensi dirnya, masyarakatnya, kelebihan, kekurangan dan tantangan yang akan dihadapi, masa kini dan masa depan.
Makin tinggi ilmunya, makin banyak interaksinya dengan masyarakat, ia mulai bisa menata diri. Ia mulai bisa begerak dan mewujudkan cita-citanya. Itu dalam tataran individu. Dalam sebuah negara, terjadilah benturan kepentingan atau cita-cita antar tokoh masyarakat. Maka tidak heran di negeri kita, benturan itu terjadi. Benturan terjadi antara tokoh-tokoh Islam dan tokoh-tokoh sekuler.