Harapan untuk Taliban
Taliban kini menjadi sorotan bagi dunia. Ada yang mengutuk, ada pula yang mendukungnya habis-habisan. Dunia terbelah.
Dunia Barat, Amerika dan Eropa memperingatkan keras kepada pemerintahan Taliban di Afghanistan agar tidak melecehkan perempuan dan memutus hubungan dengan ISIS atau Al-Qaeda. Dunia Arab masih menanti apa yang akan dilakukan Taliban kepada negerinya.
Sampai artikel ini ditulis, belum terbentuk pemerintah Afghan. Meski Taliban telah menguasai kota-kota besar di Afghan, termasuk Kabul, pemerintahan resmi Taliban masih belum terbentuk. Mungkin mereka masih berunding dan menyusun struktur pemerintahan dan kabinet. Di luar itu, masyarakat Afghan –terutama mereka yang bekerja dengan tentara Amerika di Afghan- ramai-ramai ingin meninggalkan Kabul. Sebagian besar masyarakat lainnya tetap tinggal tenang di daerahnya dan menunggu apa yang dilakukan pemerintah Taliban nantinya.
Di Indonesia, pembicaraan tentang Taliban ini marak. Banyak seminar daring dilakukan membahas tentang kondisi terakhir ‘negara mujahidin ini’. Salah satunya seminar yang dilakukan PBNU.
Dalam seminar itu, Nasir Abbas, mantan pemimpin Jamaah Islamiyah yang pernah lama di Afghan menceritakan, ada budaya kurang bagus di Afghan menyangkut masalah wanita. Bila seorang suami ditanya berapa anaknya, maka ia akan menjawab jumlah anak pria saja, jumlah anak wanita tidak disebutkan. Menurut Nasir Abbas, kelompok Taliban sangat kuat memegang mazhab Hanafi. Karena itu, tidak heran mereka mewajibkan jenggot dan sebagainya.
Dalam acara yang diadakan Kompas TV, yang dihadiri Prof Amany Lubis, Prof Nadirsyah Husen dan lain-lain, Prof Amany menyatakan bahwa ia optimis Taliban berubah. Rektor UIN Jakarta ini menyatakan bahwa janji Taliban untuk bersikap baik terhadap perempuan ini akan ditepati. Amany membantah pendapat beberapa pembicara dalam dialog di TV itu yang menyatakan pesimis Taliban akan berubah.
Dunia masih menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah Taliban nantinya terhadap Afghanistan. Tapi langkah-langkah damai Taliban dalam menguasai kota-kota di Afghan, banyak diacungi jempol. Kemudahan Taliban menguasai negara itu, tentu karena banyaknya dukungan masyarakat di sana.
Amerika yang Kalah
Kekalahan Amerika setelah menginvasi Afghanistan (2001), saat ini menjadi ucapan syukur bagi dunia Islam. Presiden George W Bush menyerbu Afghan saat itu, karena pemimpin tertinggi Afghan, Mullah Umar tidak mau menyerahkan Usamah bin Laden. Padahal Amerika memiliki bukti bahwa Usamah lah dalang dari Tragedi WTC 11 September 2001, yang menyebabkan tewasnya sekitar 3000 penduduk Amerika. Karena Mullah Umar melindungi Usamah, maka Bush marah dan mengerahkan armada militernya untuk menyerbu Afghan.
Ternyata, Amerika bukan hanya ingin menghajar pemerintah Taliban. Tapi mereka datang sekaligus ingin mengganti pemerintahannya. Maka mengerahkan ribuan tentaranya ke sana, dan akhirnya dapat mendudukkan Hamid Karzai sebagai presiden Afghan. Meski ratusan ribu warga terbunuh dan Taliban tersingkir dari pemerintahan, Taliban tidak lelah berjuang. Mereka terus mengorban perang, meski dari desa-desa. Hingga akhirnya 15 Agustus 2021 kemarin, Taliban berhasil menguasai Kabul dan sekaligus menguasai kantor pemerintahannya.
Sutradara Amerika terkenal Michael Moore menulis, ”Kami mengorbankan lebih dari 2.400 jiwa Amerika untuk menginvasi negara di mana Bin Laden tidak ada ditemukan di tempat itu… Tidak ada orang Afghanistan yang menyerang World Trade Center. 15 dari 19 pembajak pada 9/11 berasal dari Arab Saudi! Bukan dari Afghanistan, bukan Irak, bukan Iran… mengapa Bush tidak menyerang Arab Saudi? Oh, Tuhan.”
Lelahnya tentara Amerika melawan Taliban ini, ditandai dengan Perjanjian Doha yang yang berlangsung di Qatar, 29 Februari 2020. Dalam perjanjian ini terjadi kesepakatan penarikan seluruh pasukan Amerika Serikat dan NATO dari Afganistan. Janji Taliban untuk mencegah Al-Qaeda beroperasi di wilayah yang berada di bawah kekuasaan Taliban. Amerika sepakat untuk pengurangan awal jumlah pasukannya dari 13.000 sampai 8.600 pada Juli 2020, disusul oleh penarikan penuh dalam 14 bulan jika Taliban menjaga komitmennya. Amerika Serikat juga berkomitmen untuk menutup lima markas militer dalam 135 hari, dan menyatakan niatnya untuk mengakhiri sanksi ekonomi terhadap Taliban pada 27 Agustus 2020.