Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bengkak dari Rp27,17 T Jadi Rp113,9 T, Faisal Basri: Mubazir
Jakarta (SI Online) – Pengamat sekaligus ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyoroti membengkaknya biaya proyek (cost overrun) yang terjadi pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Faisal pun mengangkat kembali tulisannya enam tahun lalu mengenai proyek sepur kilat tersebut.
“Proyek mubazir ini sudah ditengarai bermasalah sejak awal. Berikut tulisan saya persis enam tahun lalu,” ujar Faisal, Jumat, 4 September 2021, seperti dilansir Tempo.co.
Sebagai informasi, proyek kereta cepat belakangan menjadi sorotan lantaran biayanya membengkak sekitar US$1,9 miliar atau Rp27,17 triliun dari proyeksi awal US$6,07 miliar menjadi Rp113,9 triliun.
Akibat melarnya biaya proyek ini, konsorsium Indonesia pun diprediksi harus menanggung beban tambahan sebesar Rp4,1 triliun, yang diusulkan dibiayai oleh suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) 2022.
Enam tahun lalu, pada 2015, Faisal Basri telah mengkritisi rencana pembangunan kereta kencang Jakarta-Bandung. Menurut dia, penyediaan kereta berkecepatan 350 kilometer per jam dari Ibu Kota ke Bandung itu tidak sangat tidak mendesak.
Musababnya,kata dia, pilihan moda transportasi untuk menuju Ibu Kota Provinsi Jawa Barat dari Jakarta sudah banyak. Misalnya saja dengan kendaraan pribadi, travel, bus, kereta, hingga pesawat. Waktu tempuhnya pun bervariasi, paling cepat 20-25 menit menggunakan pesawat, hingga sekitar tiga jam menggunakan kereta.
Kereta cepat ditargetkan sekitar 45 menit. Sehingga, menurut perkirakaan dia kehadiran kereta kilat ini hanya mengirit waktu 2 jam 15 menit dibandingkan dengan kereta api Parahyangan atau 1-1,5 jam lebih cepat dibandingkan dengan kendaraan pribadi atau travel tanpa macet.
“Rasanya kehadiran kereta cepat sangat tidak mendesak. Apalagi mengingat kereta cepat sejenis Shinkansen pada galibnya hadir untuk jarak jauh seperti Tokyo-Osaka yang jaraknya hampir sama dengan Jakarta-Surabaya,” ujar Faisal.
Sejatinya, kata Faisal, kereta cepat dengan beberapa kelebihannya adalah substitusi atau pesaing dekat pesawat terbang. Jika dengan kereta cepat, ia memperkirakan Jakarta-Surabaya bisa ditempuh sekitar 2,5 jam. Tiba di stasiun lima menit sebelum berangkat masih memungkinkan, berbeda dengan pesawat yang perlu waktu sebelum keberangkatan. Jadi, jauh lebih cepat dibandingkan dengan pesawat terbang.
Kalau kereta cepat dibangun untuk rute Jakarta-Surabaya, maka setidaknya bisa singgah di Cirebon dan Semarang. Dengan demikian, load factor bisa dioptimalkan. Kedua kota itu sudah memiliki daya beli yang memadai untuk memanfaatkan jasa kereta cepat yang lumayan mewah.
Jadi, dari segi permintaan tampaknya kereta cepat Jakarta-Surabaya jauh lebih menjanjikan dan kompetitor dekatnya hanya pesawat terbang. Situasi ini berbeda dengan pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Selain itu, ia pun sempat menyoroti keikutsertaan PTPN VIII dalam konsorsium proyek kereta cepat.
“Apakah pantas perusahaan perkebunan dipaksa berinvestasi di sektor perkeretaapian? Mengapa PTPN VIII tidak didorong untuk mengembangkan industri pengolahan produk-produk perkebunan saja?”, kata dia.
Kalau ngotot terus dijalankan, kala itu Faisal meminta pemerintah menghitung juga besarnya pinjaman dalam valuta asing serta beban pembayaran bunga dan cicilan dalam valuta asing, sedangkan penerimaan seluruhnya dalam rupiah.
“Analisis maslahat-ongkos (cost-benefit analysis) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung rasanya kurang meyakinkan. Kesannya terlalu dipaksakan,” ujar Faisal enam tahun lalu.
Sumber: Tempo.co