Terduga di KPI Perlu Diperiksa Psikolog dan Lie Detector
Kemarin tersiar berita bahwa para terduga pelaku perundungan (bully), penganiayaan dan pelecehan seksual di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan melaporkan balik pelapor (korban). Kuasa hukum para terlapor, Tegar Putuhena, mengatakan alasan pelaporan balik ke polisi adalah penyebaran identitas (nama) lengkap para terduga.
Kata Tegar, pengungkapan nama lengkap itu menyebabkan para terlapor mengalami perundungan di dunia maya. Termasuk keluarga mereka juga.
Yang menarik, Tegar mengatakan, seperti dikutip CNNIndonesia, bahwa peristiwa yang dituduhkan terjadi pada 2015 tidak didukung oleh bukti-bukti kuat. Hanya pengakuan terlapor saja.
Tegar membantah para terduga melakukan semua yang dituduhkan pelaporan seperti yang ia tulis di rilis media yang beredar pada 1/9/2021. Para terduga merasa mereka tidak pernah melakukan perundungan terhadap pelapora dari 2015 sampai 2017.
Secara pribadi, berdasarkan keberanian pelapor mengambil segala risiko melaporkan penderitaannya, saya lebih percaya kepada pelapor. Sebab, dia pastilah paham risiko melaporkan peristiwa yang sudah lama dan mungkin tidak punya bukti keras.
Saya juga percaya pihak Kepolisian yang sekarang mengusut laporan korban yang berinisial MS itu, pastilah memiliki pengalaman yang beragam dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Sangat mungkin bahwa pihak pelapor akan mengalami kesulitan untuk menunjukkan bukti-bukti material. Sebagai contoh adalah peristiwa penelanjangan korban dan corat-coret alat kelamin dia dengan spidol. Korban mengatakan para pelaku sempat mengambil foto kemaluan yang dicorat-coret itu. Tapi, bisa jadi foto itu tidakan pernah ditemukan lagi.
Tetapi, tentunya ada aspek lain yang perlu diperhatikan. Yaitu, penyelidikan yang komprehensif. Termasuk penyelidikan terhadap latarbelakang semua terduga. Antara lain watak dan sifat-sifat mereka dalam pergaulan keseharian di lingkungan kantor KPI Pusat. Juga perlu dipelajari pergaulan sosial mereka. Untuk pergaulan sosial, hampir pasti tidak terlalu sulit untuk diungkap oleh Kepolisian.
Tidak berlebihan pula kalau penyelidikan dan penyidikan dilakukan meluas sampai ke bahasa tubuh para pelaku. Cara mereka berpakaian, apa yang mereka pakai, dlsb.
Barangkali saja penyelidikan dan penyidikan yang beraspek non-material ini belum tentu bisa dilakukan oleh Kepolisian. Bila ini menjadi kendala, Kepolisian bisa meminta bantuan para pakar atau praktisi psikologi, termasuk juga meminta bantuan para psikiater, kalau perlu. Para terduga sebaiknya diperiksa atau diwawancara oleh mereka.
Di samping itu, ada pula cara lain yang sudah biasa digunakan di negara-negara maju. Yaitu, “lie detector” (detektor kebohongan) yang disebut juga dengan istilah “polygraph test”. Dalam proses wawancara, alat pendeteksi kebohongan ini bisa memberikan indikasi berbohong dengan presisi yang jaub lebih bagus dibandingkan pendeteksian oleh seseorang pemeriksa yang tidak menggunakan “lie detector”.