Saat Pemuda 25 Tahun Mendakwahi Raja Kerajaan Habasyah
Diriwayatkan dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, dari Ummu Salamah, dialog duta kaum Muslimin Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu dengan raja Habasyah, An-Najasyi. Dialog ini terjadi ketika utusan Quraisy Makkah, Amr bin Ash, yang didampingi Abdullah bin Abi Rabi’ah meminta raja An-Najasyi untuk mengusir kaum Muslimin dari Habasyah dan mengembalikannya kepada kaum Quraisy. Peristiwa ini terjadi tahun lima bi’tsah (kerasulan), tepatnya di peristiwa hijrah ke Habasyah gelombang kedua.
Ketika semua kaum Muslimin yang berhijrah telah siap menghadap An-Najasyi, An-Najasyi menoleh kepada kami dan bertanya, “Apakah agama yang kalian peluk, sehingga kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak pula kalian masuk ke dalam agamaku atau agama yang lainnya?”
Maka berkatalah ketua delegasi kaum Muslimin, Ja’far bin Abi Thalib, “Wahai Raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melaksanakan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada tetangga, yang kuat menindas yang lemah dan kami tetap berada dalam keadaan demikian, sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanahannya dan sangat memelihara diri. Dia mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Dia juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji, memelihara darah, beliau melarang kami berbuat zina, berkata dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina, Rasulullah juga memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah semata dan mengesakanNya, tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, juga memerintahkan kami agar mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan. Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang telah diperintahkan Allah melalui Rasul. Maka kami beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukanNya sedikit pun. Kami menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami degan siksaan yang berat dan berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”
Dakwah dari Ja’far ini sangat brilian dan di dalam dialognya bertebaran ibrah bagi para da’i generasi masa kini. Pertama, Ja’far memulai dakwahnya layaknya figur diplomat sekaligus da’i yang handal. Ia memulai pembicaraan dengan mengungkapkan keburukan adat, gaya hidup dan kepercayaan jahiliyah kaum Quraisy. Agama kaum Quraisy tersebut sesungguhnya telah menyimpang jauh dari penyembahan kepada Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Ketika Ja’far menjadikan tema ini sasaran utama komunikasinya kepada pembesar Habasyah dan raja An-Najasyi serta utusan Qurasiy sendiri, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, Ja’far paham sekali bahwa kerajaan Habasyah juga idealnya menyembah satu Tuhan yang Esa. Hanya saja penyimpangan melalui aqidah trinitas yang terjadi di internal agama Nasrani menjadikan Isa alaihissalam yang sebenarnya Rasul dan Hamba Allah menjadi disetarakan dengan keilahian Allah sendiri. Namun Ja’far tahu, bahwa kaum Nasrani juga berbeda dengan agama Quraisy dan sangat tidak menyukai praktek penyembahan kepada berhala.
Kedua, mengungkapkan aqidah Islam yang dibawa seorang Rasulullah Muhammad SAW, di mana sebelum diutus sebagai Rasul, nasab dan kepribadiannya yang agung telah diketahui kaumnya. Ja’far membeberkan kelebihan pokok-pokok ajaran Islam yang sangat luhur, di samping itu ia mengungkapkan beberapa pokok ajaran Islam secara global (umum), sehingga bisa dipahami siapa pun yang hadir dalam pertemuan tersebut. Metode mengungkapkan kebatilan aqidah dan adab jahiliyah serta meneruskannya dengan kelebihan pokok-pokok ajaran Islam terbukti sangat membekas terhadap jiwa-jiwa para objek dakwah, terutama raja An-Najasyi. Dalam hal ini Ja’far menunjukkan perintah dan larangan dalam Islam, di mana yang diperintahkan adalah gambaran nilai-nilai yang agung mulai dari menyeru beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan menyembah berhala; kejujuran dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturrahim, meninggalkan perbuatan keji, memelihara darah, hingga ibadah rukun Islam seperti mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa di bulan Ramadhan. Sedangkan yang dilarang dalam ajaran Islam ialah perbuatan yang dinilai memang buruk di mata umat manusia, seperti berzina, berbuat keji, berkata dusta, memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita yang shalihah berbuat zina.
Ketiga, Ja’far kemudian mengisahkan perlakuan buruk kaum Quraisy kepada kaum Muslimin, penindasan dan penyiksaan kaum tujuan mereka datang ke Habasyah “Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah berhala.” Dengan frase perkataan Ja’far ini, An-Najasyi tentu jadi teringat apa yang terjadi pada kaum Nasrani generasi awal, ditindas dan disiksa oleh penguasa Romawi agar kembali beragama pagan. Rasa kebijaksanaan dan keadilan An-Najasyi sebagai raja kerajaan besar digugah dengan sangat sempurna oleh Ja’far.
Empat, sanjungan yang tulus kepada raja yang adil dan bijaksana, “Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.” Sebagaimana diungkapkan sejarawan Syaikh Munir Al-Ghadban dalam Manhaj Haroki jilid pertama, “Ja’far menjadikan akhir pembicaraannya dengan menggugah jiwa ksatria dan kepahlawanan dalam diri seorang raja (An-Najasyi).” Ja’far membuat jiwa An-Najasyi terpanggil, karena sebagai raja yang dikenal adil dan bijaksana An-Najasyi tidak mungkin menelantarkan orang-orang yang butuh pertolongan dan menjadi korban kezhaliman hanya karena mengesakan Allah serta ingin bebas menjalankan syariat agamanya.
Komunikasi Ja’far kepada An-Najasyi dan pembesar Habasyah begitu indah, sehingga seorang raja An-Najasyi sendiri sampai penasaran, ingin tahu seperti apa ayat-ayat Allah yang disampaikan Nabi SAW kepada Ja’far dan kawan-kawannya. Hebatnya lagi, Ja’far dan kaum Muslimin ketika itu sepakat untuk melantunkan ayat-ayat bagian awal surat Maryam, yang mendekatkan alam pikiran kerajaan Nasrani Habasyah dengan Islam. Pada akhirnya kita ketahui bahwa Raja An-Najasyi masuk Islam secara diam-diam, kendati kerajaannya masih berupa kerajaan Kristen. Hidayah diraih oleh Raja An-Najasyi lantaran dakwah dari Ja’far yang kala itu baru berusia 25 tahun.
Ilham Martasyabana
Penggiat sejarah Islam & pemegang ijazah sanad Hadits Arba’in Imam Nawawi