Piala Dunia dan Masa Depan Politik Indonesia
Gegap gempita Piala Dunia mewarnai tahun politik di Indonesia. Bahkan ada yang mengaitkannya secara langsung hasil pertandingan Piala Dunia dengan gambaran politik Indonesia di masa depan. Tersingkirnya Jerman, sang juara bertahan seolah menyiratkan bahwa tak ada yang abadi di pentas kemenangan. Jerman sebagai negara bermental juara dalam hal sepakbola justru takluk oleh Korsel yang tidak difavoritkan lolos dari fase grup. Hal ini pula yang terjadi secara mengejutkan pada pilkada serentak 2018. Perolehan suara paslon yang diusung partai penguasa saat ini (baca: PDIP) ternyata keok di beberapa provinsi yang memiliki basis suara nasional. Dari 17 pemilihan gubernur yang diselenggarakan serentak Rabu (27/7/2018), PDIP hanya mampu memenangkan empat pasangan calon yang mereka usung. Empat wilayah yang dimenangkan PDIP juga tak terlalu mengejutkan. Sebab, wilayah tersebut memang menjadi basis suara banteng. Diantaranya Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, dan Maluku.
Nampaknya era PDIP berkuasa mulai kehilangan muka sejak kasus Ahok. Terlebih pemerintahan Jokowi tak menunjukkan performa yang baik sejak mereka berkuasa. Sama seperti hasil pertandingan Argentina vs Perancis dan Portugal vs Uruguay. Duo mega bintang, Messi dan Ronaldo ‘dipaksa’ pulang usai kemenangan Perancis dan Uruguay atas mereka. Era keemasan Messi dan Ronaldo sudah mencapai anti klimaksdan digantikan oleh era baru yaitu Mbappe, pemain muda Perancis yang cukup bersinar di Piala Dunia. Hal ini menyiratkan kepada kita bahwa setiap masa keemasan, pada akhirnya akan digantikan dengan masa lainnya. Ya, era kapitalisme sudah semakin terseok. Maka era baru pun akan dimulai.
Begitulah peradaban. Suatu ketika mampu berjaya, di masa berikutnya akan mengalami kemundurannya. Peradaban Kapitalisme sudah memasuki masa kemundurun. Gejolak kurs mata uang, utang negara, kemiskinan, kerusakan generasi, keadilan hukum cukup tersaji di depan mata sebagai akibat penerapan sistem kapitalisme. Demokrasi pun juga semakin menunjukkan topeng kebobrokannya. Sekalipun Indonesia sukses dengan pilkada damai, tapi belum tentu pemimpin terpilih mampu menjalankan amanah dan janji kampanyenya sesuai mandat yang diberikan. Seperti kata Prof Mahfud MD, malaikat pun bisa menjadi setan ketika masuk dalam lingkaran sistem demokrasi.
Bisa jadi ini menjadi pertanda bahwa dominasi peradaban kapitalisme akan segera berakhir. Di satu sisi, kesadaran politik umat semakin tampak. Ghirah keislaman mereka semakin besar. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya gerakan hijrah yang dilakukan berbagai kalangan masyarakat, dari selebritis hingga pelaku bisnis. Kesadaran mereka harus berislam secara kaffah membuat orang-orang kafir panas dingin. Sebab, Islam menjadi ancaman atas kekuasaan dan hegemoni mereka atas negeri-negeri muslim.
Sudah saatnya kaum muslimin sadar bahwa ketinggian dan kemuliaan Islam akan kembali terwujud tatkala Islam dijadikan sebagai landasan pemikiran dan amal. Saat kapitalisme akan tergusur, maka inilah waktunya bagi kita untuk menyatukan visi dan misi kehidupan dengan mengembalikan tinta emas peradaban Islam yang pernah berjaya selama 13 abad lamanya. Sebuah era baru bernama Khilafah.
Allah berfirman dalam surat An nur ayat 55: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka senantiasa menyembah-Ku (samata-mata) dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik”.
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban