Pemerintah Kurang Peka Jaga Warisan Sumpah Pemuda
Ketika kita membaca kembali sejarah, tak berlebihan rasanya menyatakan Indonesia adalah negara yang dirancang dan didirikan para pemuda. Hampir semua figur sentral yang terlibat menggagas negara ini, mulai dari era Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945, semua berasal dari kalangan pemuda.
Salah satu momen penting peran pemuda dalam proses pembentukan bangsa dan negara ini adalah Kongres Pemuda II di Jakarta, yang digelar pada 27 dan 28 Oktober 1928. Apa yang hari ini kita peringati sebagai Hari Sumpah Pemuda, sebenarnya mengacu kepada sebutan untuk keputusan Kongres Pemuda II tersebut.
Pada akhir Kongres Pemuda II, para pemuda dari berbagai latar belakang daerah, suku dan agama, berikrar menyatukan imajinasi mereka mengenai tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan ke dalam satu konsepsi, yaitu “Indonesia”. Ikrar itu kemudian kita sebut sebagai “Sumpah Pemuda”.
Hari ini, kita kembali memperingati peristiwa bersejarah tersebut. Pemerintah menetapkan Hari Sumpah Pemuda tahun ini mengangkat tema “Bersatu, Bangkit dan Tumbuh”. Saya kira, ini pesan sangat positif. Sesudah dua tahun dihantam pandemi dan resesi ekonomi, kita memang harus bangkit dan tumbuh kembali.
Namun, untuk bisa bangkit dan tumbuh, kita harus bisa bersatu terlebih dahulu. Persatuan itu perlu kepercayaan, trust, dari semua pihak terutama harus dibangun dari atas. Pemimpin harus bisa dipercaya rakyat. Lahirlah persatuan antara pemimpin, pemerintah dan rakyat, antara masyarakat sendiri, berbagai daerah, golongan serta menjadikan perbedaan sebagai keniscayaan.
Masalahnya para pejabat pemerintah sendiri justru kerap memproduksi narasi-narasi yang mengarahkan kita pada disintegrasi-sosial. Pernyataan Menteri Agama baru-baru ini, yang menyebut Kementerian Agama hadiah negara untuk ormas keagamaan tertentu, adalah contoh sangat mencolok. Bagaimana bisa seorang pejabat publik yang seharusnya mengayomi semua golongan malah melontarkan pernyataan yang memecah belah semacam itu?
Menyebut Kementerian Agama sebagai “hadiah” bagi umat beragama tertentu saja tak boleh, ini malah menyebutnya sebagai hadiah buat ormas keagamaan tertentu. Di mana fatsoen-nya sebagai pejabat publik? Jika pejabat pemerintah tak berusaha menjaga adab dalam berbicara, lantas siapa yang bisa mengarahkan kita pada persatuan? Justru pejabat semacam ini memecah belah.
Saya melihat, ‘leadership’ menjadi faktor kunci bagi terciptanya persatuan. Tanpa adanya kepemimpinan yang merangkul, serta bisa memberikan arah tujuan jelas kepada seluruh komponen bangsa, kita tak akan bisa bersatu. Kita hanya akan jadi kerumunan saja. Bersatu dan berkerumun adalah dua hal berbeda. Nah, saya khawatir, posisi kita saat ini sebagai bangsa hanya tinggal menjadi kerumunan saja.
Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, Presiden mestinya peka terhadap hal-hal yang bisa memecah belah kita sebagai bangsa. Tapi, kita tak melihat kepekaan itu ditunjukkan. Dalam konteks pernyataan Menteri Agama, misalnya, mestinya segera ada teguran terbuka, untuk menjaga perasaan umat serta organisasi keagamaan lain yang telah diekslusi oleh pernyataan ceroboh tadi.
Tentu saja persatuan bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau Presiden saja. Kita semua juga memikul tanggung jawab tersebut. Itu sebabnya, di Hari Sumpah Pemuda ini saya ingin mengajak, marilah kita sama-sama menjaga bangsa dan negara ini dari ancaman perpecahan.