Di UI, Cukup Ada Masjid Saja
Jumat kemarin (29/10) ada berita yang membuat kita, sebagai umat Islam, mengelus dada. Yaitu kesepakatan antara Ketua Umum Alumni Universitas Indonesia dengan Manteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Dalam pertemuan Jumat kemarin di Jakarta, mereka bersepakat mendukung pendirian tempat-tempat ibadah selain masjid, di kampus UI.
“Kami akan dukung. Sebab umat beragama di kalangan kampus juga butuh rumah ibadah, seperti mahasiswa dan dosen,” kata Menag,
“Desain rumah ibadah yang kami siapkan mengusung konsep ramah lingkungan dan kearifan budaya lokal. Misalnya ada desain rumah ibadah dengan konsep rumah adat Batak Karo dan rumah adat Jawa. Begitu pun dengan sumberdaya pendukungnya, sudah kami siapkan. Kunjungan audiensi ini selain silaturahmi dengan Pak Menteri, kami juga meminta dukungan agar dapat disampaikan kepada Rektor UI dan jajaran,” ujar Andre Rahadian, Ketua Umum ILUNI UI. (Lihat: Kemenag Dukung Rencana Iluni Bangun Sejumlah Rumah Ibadah di Kampus UI)
Kesepakatan Iluni UI dan Menag ini tentu hal yang aneh. Ada beberapa alasan yang bisa kita berikan untuk menolak rencana ini.
Pertama, selama ini di UI dan kampus-kampus perguruan tinggi negeri lainnya, hanya ada tempat ibadah umat Islam, yaitu masjid. Selama itu pula toleransi berlangsung baik, kehidupan kampus berjalan tenang dan tidak ada aksi-aksi terorisme di kampus. Berdirinya tempat-tempat ibadah lain justru dikhawatirkan akan menimbulkan sikap ekstrem dan muncul aksi-aksi terorisme.
Kedua, masjid didirikan karena jumlah mahasiswa, karyawan dan dosen mayoritas beragama Islam. Selain itu, tidak seperti umat beragama yang lain, umat Islam dalam beribadah wajib harian. Bahkan lima kali sehari. Sedangkan umat lain ‘mingguan’. Sehingga wajar umat Islam perlu mendirikan masjid di sekitar yang dekat mereka. Sedangkan para mahasiswa non Islam bisa beribadah di dekat tempat kos mereka atau di tempat yang difasilitasi oleh kampus.
Ketiga, masjid didirikan di kampus UI dan kampus-kampus negeri yang lain karena sebagai penghormatan umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Sebagaimana diketahui, para pahlawan yang mengusir penjajah Portugis, Jepang dan Belanda adalah mayoritas Islam. Selain itu, negeri tercinta ini lahir dari banyak kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan Samudra Pasai, Banten, Cirebon, Demak, Tidore, Ternate dan lain-lain. Karena itu wajar negara memberikan simbol masjid sebagai ‘balas jasa’ pengorbanan para pahlawan Islam.
Keempat, umat non Islam tidak seharusnya iri terhadap keberadaan masjid di kampus UI atau kampus-kampus negeri lainnya. Bukankah mereka telah menikmati toleransi di negeri ini yang seluas-luasnya dari umat Islam. Di Amerika sendiri yang sering dijadikan rujukan demokrasi, sampai saat ini belum ditemui menteri yang beragama Islam. Umat Islam di negeri ini telah memberikan toleransi yang luas bagi umat non Islam untuk beribadah, bersosial, berpolitik, dan lain-lain, bahkan berekonomi mereka lebih mendominasi daripada umat Islam.
Jadi kehidupan kampus yang tenang dan tenteram ini jangan diusik dengan rencana pendirian tempat-tempat ibadah non Islam. Karena yang terusik bukan hanya masyarakat kampus, tapi juga masyarakat di luar kampus.
Pendirian masjid di kampus UI dan kampus-kampus negeri lainnya sekali lagi adalah hadiah negara untuk umat Islam. Atas jasa mayoritas para pahlawan Islam dalam memerdekakan negeri ini. Karena itu, cukup tempat ibadah masjid saja di UI dan kampus-kampus negeri lainnya.
Nuim Hidayat, Alumni UI dan Anggota MUI Depok.